“ Setahun kita
bercinta, suka duka bersama, sejuta asmara penuh pesona...
Kau regukan madu
cinta, hatiku terlena akan manisnya cintamu getarkan jiwaku...
Senyummu adalah
laraku, tawamu adalah lukaku, manisnya janjimu racuni cintaku...
Mengapa engkau
harus berdusta, kau buat hati ini terluka demi orang yang kau suka kau
berpaling cinta...
Aku
disini kau buat kecewa...
Bukankah engkau
telah berjanji, kau dan aku sehidup semati...
darahmu darahku
kau jadikan satu. Itu sumpahmu yang kau ucap dahulu...”.
Siang itu jalanan begitu ramai. Gumpalan asap menari luwes di depan
mata sang pecandu nikotin ditambah bising kenalpot motor yang membuat gendang telingaku seakan pecah
hingga aku tak mampu berpikir dengan apa yang akan aku lakukan terhadap
perasaanku yang kian dilema karena rasa yang kupikir akan membuatku bahagia.
“...Braaaak...” Suara pintu terbuka dengan keras membangunkanku
dalam lamunan. Tak lama kemudian terlihat pemuda yang saat ini aku tunggu. Dia,
ya dia orang yang ku cinta, orang yang setiap malam menemaniku dalam gelapnya
dunia. Dia, dia adalah penghuni hati ini. Namun, apakah dia juga sama mersakan
seperti apa yang aku rasakan atau malah sebaliknya ?. Aku tak tau. Yang aku
tau, aku sangat mencintainya.
“ Indah udah lama kamu disini ? ”. Tanya dia kepadaku.
“ Enggak kok, baru 30 menit saya disini ”. Jawabku atas
pertanyaannya.
“ Maaf yaaa udah membuat kamu nunggu ”.
“ Udah biasa saya nunggu kamu,
jangankan 30 menit, 3 tahun pun aku siap untuk menunggu kamu ”. Jawabku
Ya memang aku menanti Ridzal untuk menyatakan cintanya kepadaku hingga
tiga tahun. Wajarlah namanya juga perempuan hanya bisa menunggu.
“ Indah dengan kamu mendiamkan
aku seperti ini, kamu senang ?, kenapa kamu diam saja ? jawab Ndah, jawab”.
Ucap Ridzal.
Aku tak mampu memjawab pertanyaannya, aku hanya mampu diam seribu
bahasa. Aku tau aku salah dengan tidak menjawab semua pertanyaannya. Semua itu
karena aku tak mampu menahan rasa kecewa yang aku rasakan namun disisi lain aku
tak mau kehilangan dia, dia yang telah membuat aku bahagia.
“ Kamu kenapa Ndah ? apa salah
saya ?”.
Lagi-lagi aku tak mampu menjawabnya. Aku hanya bisa menggelengkan
kepala.
Entah siapa yang salah aku atau dia. Semua ini karena lebih dari satu
minggu dia tak menghubungiku, aku takut dia memiliki kekasih baru apalagi kata
teman-temanku dia banyak teman perempuannya. Mungkin aku yang egois yang tak
mau dia meninggalkan aku meski pun dia juga belum tentu menduakan cintaku.
Dalam hati kuberkata “Tuhan apa
yang harus aku lakukan hati dan pikiranku kini tak sejalan. Kini hanya ada rasa
curiga yang selalu muncul dipikirannku”.
Tak terasa jarum jam dengan cepat berputar seolah muak melihatku tak
menjawb semua pertanyaan Ridzal hingga kami putuskan untuk pulang.
“…Terhempas dialas kerikil tajam
Sempat membuat aku termangu
Mulanya teramat perih
Dan kusimpan rasa duka ini seolah tak bertepi
Mengelombang dipuing-puing hati
Tak memilikimu lagi kenyataan yang akan ku hadapi kini
Hilang arahku mencari pijakan diri
Karena cintamu tempatku membasuh letih
Tapi sayang aku harus sendiri menysuri setapak cerita sunyi
Biar aku yang merasakan betapa sakitnya ini
Cukup aku, kau tertawalah sampai puas
Hingga tercapai apa yang kamu cari yang tak mampu aku beri…”
Sempat membuat aku termangu
Mulanya teramat perih
Dan kusimpan rasa duka ini seolah tak bertepi
Mengelombang dipuing-puing hati
Tak memilikimu lagi kenyataan yang akan ku hadapi kini
Hilang arahku mencari pijakan diri
Karena cintamu tempatku membasuh letih
Tapi sayang aku harus sendiri menysuri setapak cerita sunyi
Biar aku yang merasakan betapa sakitnya ini
Cukup aku, kau tertawalah sampai puas
Hingga tercapai apa yang kamu cari yang tak mampu aku beri…”
Cirebon, 18 Agustus 2013. Hati ini masih tak mampu
menemukan satu kenyamanan yang dulu pernah tercipta. Dan sekali lagi sudah dua
hari tak ada kabar dari Ridzal. Apa yang harus aku lakukan, bertahan atau
melupakan ?. Jika bertahan, hati ini akan terus merasa sakit. Namun, jika aku
harus melupakannya, hati ini bukan hanya sakit tapi sulit itu sudah pasti. Tak
mungkin aku dengan mudah melupakan dia yang telah menemaniku setiap hari. Aku,
aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Dengan selembar kertas Indah menulis apa
yang dia rasakan yang tak mampu dia katakan kepada Ridzal.
“…Lentik jemari telah lukiskan sang dewa
rembulan malam, sejenak mata terbuai lelap akan paras pesonanya yang sangat
terlihat merona.
Teduh mata berseri wajah akan cinta yang
telah menjamah didalam sanubari dengan perlahan dan menghembuskan nafas
terikhlasnya.
Gemintangnya purnama malam membuka
sejuta lembar kenangan yang sangat mengesankan dan masih menggumpal bersama
serpihan-serpihan didalam relung hati.
Ku puja
rindu kasih disepanjang waktuku dengan segenap ketulusan hati meski pun kini
kian samar dan tak bertapak seiring bergulirnya waktu…”.
“...KkkrrrRRrrriing...”, suara hand phone Indah berbunyi membangunkannya
dari lelapnya mimpi yang sedikit mampu mendamaikan jiwanya.
“ Bangun sayang ini udah pagi ”. Pesan singkat yang Ridzal kirim untuk Indah.
Indah pun menjawab pesan singkatnya. “ Kemana aja kamu ? “.
“ udah dong jangan marah
terus, apa salah saya sampe kamu masih memarahi saya ”.
Jawab Ridzal. Namun, Indah tak mampu memberikan jawaban dari pesan yang Ridzal
kirim untuknya.
Kini sang fajar sudah membukakan dunia dengan memancarkan cahaya yang
Ia miliki, yang membuat dunia menjadi cerah. Dan saat itu pula tak lama lagi
jam sekolah akan segera dimulai, mau tak mau Indah harus ke sekolah meski pun
hanya jiwanya yang pergi sedangkan pikirannya Ia tinggalkan hanya untuk
memikirkan Ridzal.
‘’…Walau tubuh dan raga ini engkau pandang sebelah mata
Cukup dalam hati ini saja ku simpan rasa ini
Sebab hanya engkaulah yang abadi dalam hatiku
Meski cinta kasihmu hanyalah sebatas impian tuk memilikimu…’’
Cukup dalam hati ini saja ku simpan rasa ini
Sebab hanya engkaulah yang abadi dalam hatiku
Meski cinta kasihmu hanyalah sebatas impian tuk memilikimu…’’
Pukul 13.00 Ridzal masih menunggu jawaban pesan singkatnya yang Ia
berikan untuk Indah pagi tadi berharap Indah akan membalasnya. Namun, tak ada
jawaban dari Indah untuk Ridzal hingga akhirnya Ridzal sadar telah membuat
Indah cemas karena tak menghubunginya berhari-hari. Tak lama kemudian Ridzal
mengirimkan pesan singkat untuk Indah.
“…Sepasang
mata yang tak selalu melihatmu, jemari tak selalu menyentuhmu, sepasang kaki
yang tak pernah berjalan bersamamu. Namun, ku punya hati dan perasaan yang
penuh kasih sayang untukmu…”. Seperti itu pesan yang
Ridzal kirimkan untuk Indah.
Namun, Indah tak memperdulikannya dia sudah teramat kecewa masiki pun
dia juga senang Ridzal sudah menghubunginya lagi.
Keesokan harinya Ridzal menjemput Indah ke sekolah dan mengajaknya
pergi untuk mendinginkan perasaan yang semakin hari semakan panas. Ridzal
membawa Indah ke suatu tempat dimana dia setiap hari main disana.
“ Sayang, maaf beberapa hari
ini saya ga menghubungi kamu ”. Ucap Ridzal.
Indah pun menjawab. “ Iya aku
ngerti, aku tau kamu sibuk tapi apa salahnya kamu kasih kabar. Aku disini
nunggu kabar dari kamu. Aku khawatir sama kamu. Apa aku salah seperti itu ? ”.
“ Enggak sayang, malah saya
beruntung memiliki pasangan seperti kamu. Maaf udah buat kamu khawatir. Yang
pasti saya ga ngehubungi kamu bukan karena saya menduakan kamu tapi karena saya
sayang sama kamu, semua ini saya lakukan agar hubungan kita ga datar gitu-gitu
aja, agar ada rasa kangen ketika kita gak ada komunikasi dan yang paling
penting semua itu untuk menguji diri saya tenyata merasa kehilangan kamu saat
kita gak ada komunikasi ”. Jawab Ridzal
Indah pun tersenyum, Ia sadar ternyata rasa curiga yang dia rasakan tak
sesuai dengan kenyataan. Dia mulai berfikir bahwa yang terpenting dalam suatu
hubungan itu adalah saling percaya satu sama lain.
“…Mungkin aku bukan cupid yang mampu memanah tepat di hatimu dengan
cinta…
Mungkin aku bukan amour yang paham segala tentang cinta…
Mungkin aku bukan romeo yang rela mati demi kekasihnya…
Mungkin aku bukan pujangga yang bisa merayumu dengan kata-kata yang indah..
Aku hanya orang yang mencintaimu apa adanya…
Aku tak tau sedalam apa rasaku itu…
Yang aku tau aku mencintaimu lebih dari aku cinta kepada diriku Sendiri…”
Mungkin aku bukan amour yang paham segala tentang cinta…
Mungkin aku bukan romeo yang rela mati demi kekasihnya…
Mungkin aku bukan pujangga yang bisa merayumu dengan kata-kata yang indah..
Aku hanya orang yang mencintaimu apa adanya…
Aku tak tau sedalam apa rasaku itu…
Yang aku tau aku mencintaimu lebih dari aku cinta kepada diriku Sendiri…”
Cirebon, 21 Agustus 2013. Sang
fajar telah menutup matanya dan kini giliran sang Dewi malam memancarkan
sinarnya diantara ribuan bintang yang selalu setia menemaninya sepanjang malam.
Tiupan angin dari sang alam meleburkan rasa kecewa yang Indah rasakan. Dia
menemukan kembali serpihan hati yang telah hancur, hancur karena rasa curiga
yang tak semestinya Ia rasakan.
“...Aku tau rasanya sakit…
Karna aku pernah terluka…
Aku pernah merasakan kesepian..
Karna aku pernah terpuruk dalam kesendirian…
Aku tau rasanya kecewa…
Karna aku pernah di abaikan…
Dan aku tau rasanya bahagia…
Karna kini aku mengenalmu…”
Karna aku pernah terluka…
Aku pernah merasakan kesepian..
Karna aku pernah terpuruk dalam kesendirian…
Aku tau rasanya kecewa…
Karna aku pernah di abaikan…
Dan aku tau rasanya bahagia…
Karna kini aku mengenalmu…”
Tak lama kemudian Ridzal mengirimkan pesan singkat untuk Indah.
“ Masalah dalam sebuah
hubungan itu seperti makan sambal yang pedas, makin berasa pedasnya, makin
menikmati sensasinya dan makin lupa akan kesehatan lambungnya hingga terbawa
dalam sensasi sesaat. Begitu pula dengan pacaran kalau gak saling percaya akan
selalu timbul masalah dan panaslah sebuah hubungan itu hingga lupa dengan
perjuangan yang selama ini telah diperjuangkan dalam mempertahankan hubungannya
”.
Dan Indah pun tersenyum, kini Ia tau apa yang harus Ia
lakukan di hari esok untuk mempertahankan hubungannya dengan orang yang selama
ini Ia cinta.
Karya Derif Rys Gumilar
Facebook : eriefgilaraquino@rocketmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar