Selamat Datang, Baca, Pahami dan Rasakan dari Sebuah Tulisan

Selamat Datang, Baca, Pahami, dan Renungkan Makna Indahnya Kenganan dari Sebuah Tulisan
Kenangan tidak mudah untuk dilupakan hanya hilang ingatan yang bisa mengobatinya. Sekecil apa pun kenangan akan tetap berada di pikiran.
Kado Terakhir Untukmu menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi, dilewati dan dirasakan sebagai bentuk apresiasi pada sebuah kenangan.
Tulislah apa yang kita rasakan dan rasakan apa yang kita tulis.


Jumat, 29 Agustus 2014

Pertama Kali Jadi Mahasiswa



Kuliah adalah impian semua orang termasuk aku. Setelah lulus SMA, aku melanjutkan kuliah di Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon. Aku merasa senang namun aku juga merasa khawatir terlebih aku termasuk orang yang susah untuk bergaul dengan lingkungan baru. Semua ketakutan itu muncul mulai dari teman-teman yang belum aku kenal sampai ke ospek. Seperti berita-berita di televisi, dimana ospek adalah tempat balas dendam dari senior-senior yang telah di ospek di tahun-tahun sebelum aku masuk dan sekarang giliran mereka yang telah di ospek kini meng-ospek aku.
            “Udah tenang aja” Kata bapakku “Sekarang bapak antar kamu daftar kuliahnya”
            “Iya pak.” Jawab aku dengan pasrah.
            “Kamu mau masuk fakultas apa ? Jurusan apa ? bapak mah terserah kamu, kan kamu yang mau kuliah”
            “Aku mah maunya di jurusan komunikasi”
            “Jangan. masih mending ke fakultas Pendidikan aja di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia biar nanti kamu jadi guru.”
            “Katanya terserah aku pak ?”
            “Kecuali yang ini bapak yang menentukan.” Jawab bapak dengan agak nyolot.
            Gila pendidikan, apa yang akan aku pelajari apalagi jenjangnya jadi guru. Aku nanti jadi guru ? guru macam apa yang kaya aku ini nanti yang ada bukannya aku marahin murid yang bersalah tapi aku yang selalu dimarahin mereka.
            “Kamu kuliah apa kerja ?” tanya Yogi temen sewaktu SMA.
            “Kuliah Yog.”
            “Ambilnya apa ?”
            Aku diam, aku gak tau mau jawab apa karena aku juga belum yakin dengan jurusan yang dipilih bapakku itu.
            “Hey ditanya juga” Saut Yogi.
            “AMBIL APA AJA YANG PENTING GAK AMBIL KOMPUTER NANTI DISANGKA MALING TERUS MASUK PENJARA”
            Yogi adalah teman baik aku sejak SMA. Dia orangnya baik meski pun sering meledekku dengan kata-kata ‘aahh dasar fakir asmara, jomblo menderita’. Ya dia tahu semua tentang aku dan dia juga tahu kalau aku gak punya pasangan, itu yang sangat menyedihkan.
            Suatu waktu aku ngobrol dengan Yogi ketika jam istirahat di depan sekolah.
            “Brow loe gak punya cewek ?” tanya dia.
            “Iya”
            “loe harus cari cewek. Ucap Yogi dengan sok serius “ketika loe udah punya cewek itu berarti loe udah gede dan itu tandanya loe normal.”
            “emang gitu ?” jawabku gak peduli dengan pernyataan dia.
            “Udah brow cepet sekarang cari cewek.”
            “Iya nanti juga kalau udah waktunya gue juga bakal punya cewek”
            Aku salut sama Yogi, dia gampang banget dapet cewek terlebih dia punya fisik yang keren, kulitnya putih, tinggi, badanya gak kurus sedangkan aku, penampakan fisik aku aja gak harmonis, kayanya itu yang membuat aku susah dapet pacar.
Yogi punya pacar lebih dari satu, keren sih tapi gara-gara dia juga para jomblo abadi seperti aku makin susah dapet pasanagan karena dia mengambil yang bukan hak dia.
“Liat nih foto cewek gue cantik gak ?” tanya Yogi
Aku liat fotonya, ku perhatikan. Dalam hati ku berkata, Gila ini mah bukan cantik lagi. Tinggi, hindungnya mancung, kulitnya putih, rambutnya terurai hitam dan lebat. Ini udah kayak bidadari tapi gak bersayap.
“Biasa aja.” Jawabku seolah gak peduli padahal Woooow banget.
“Oh iya lupa loe kan gak punya cewek jadi loe gak tau tentang cewek.”
“Hmmmm”
Kembali lagi ke masalah kuliah. Aku sebenarnya berat menerima kenyataan bahwa aku harus masuk ke fakultas pendidikan tapi apa daya itu kemauan orang tuaku. Ingin menolak tapi aku tak bisa. Di ruang tv, ketika aku berkumpul dengan keluargaku aku sempet ngobrol dengan mereka.
“Pak, Bu aku kerja aja deh jangan kuliah lagi.” Tanyaku memelas.
“Laah kenapa ?” jawab ibu “kamu mau kerja, kerja dimana?”
“Yaa dimana aja. Aku gak mau masuk Fakultas Pendidikan.”
“Udah coba aja dulu.” Jawab ibuku.
“Tapi kan” jawabku sambil melihat ibuku yang melotot “Ya udah di coba dulu”
Pasrah.
Aku pernah menolak permintaan orang tuaku ketika lulus SMP dan aku meminta melanjutkan ke SMK tapi mereka meminta aku masuk ke SMA, aku menolak dan mereka berkata dengan santai “Kamu mau kaya Malin Kundang ?”. (seolah memaksa).
Hening.
Di dalam kamar, aku merenung, terdiam dan mencoba berpikir tenang. Mungkin benar kata orang tuaku, mereka pasti telah merencanakan segala hal di masa yang akan datang untukku. Tapi apa rencananya ????. Rancana baik ? baik untuk mereka atau baik buat aku ?
Hari terus berganti, siang berubah menjadi malam dan malam berubah menjadi pagi dan terus menerus seperti itu sampai akhirnya aku daftar kuliah dan masuk fakultas pendidikan tepatnya di pendidikan bahasa dan satra Indonesia.
“Mau ambil fakultas apa mas ?” Tanya mbak-mbak di stand pendaftaran.
“Pendidikan” ku jawab dengan setengah hati
“Jurusan ?”
“Bahasa dan sastra Indonesia”
“Kenapa ambil jurusan bahasa Indonesia mas ?” tanya mbak itu seolah aku tak yakin dengan pilihanku. Padahal memang aku tak yakin jangankan untuk memilih jurusan untuk urusan cinta saja aku tak yakin bakal cepet dapat pacar, mungkin aku akan dapat pacar nanti ketika semua orang udah dapat pasangan dan tinggal tersisa satu perempuan dan perempuan itu pun terpaksa memilih aku karena sudah tidak ada pilihan lain selain aku. Ironis.
“Karena aku cinta Indonesia” jawabku seolah paham sebenarnya karena gak ada alasan lain.
Masa libur setelah selesai sekolah dan menunggu kuliah masuk lumayan lama. Aku gunakan waktu libur itu untuk mempersiapkan diri sebagai bekal kuliah nanti salah satunya menghilangkan sedikit rasa malu untuk berbicara di depan orang yang belum aku kenal.
Kadang aku merasa capek belajar di pendidikan formal terus dari mulai TK, SD, SMP, SMA dan sekarang siap melanjutkan di Kuliah dan itu memakan waktu 4-5 tahun dan pasti gak jauh dari buku. Aku sadar, ketika kita menginginkan sesuatu yang terpenting itu prosesnya dan butuh waktu lama untuk menjalani prosesnya itu.
Di waktu yang kosong aku biasa bermain di warung, nama warungnya Warung Babeh. Warung Babeh adalah tempat anak-anak SMA nongkrong, tempatnya di depan SMA PGRI Palimanan. Ya itu nama sekolah waktu aku SMA jadi aku sudah terbias main di warung itu. Untuk melepas sepi, cari teman, liat cewek dan liat orang pacaran disanalah tempatnya dan aku mereasa miris karena aku gak punya pacar.
Hari itu aku bertemu dengan Yogi. Kita sekarang main di warung Babeh sudah tak memakai pakaian seragam lagi.
“Wiiih” ucap Yogi “loe keliatannya gede Rif pake pakaian biasa mah”
Aku memang kecil dan kurus jadi kalau pake pakaian SMA, kayak anak SD pake baju SMA.
“Iya” jawabku datar.
Hening sesaat dan Yogi orangnya yang sok asik, dia langsung memberitahukan masalah kuliahnya padahal aku tak bertanya.
“Gue kuliah di Unswagati brow, ambilnya pendidikan ekonomi”
“iya” jawabku “Sama gue juga di sana”
“Berarti kita bakal bareng lagi brow”
“Iya semoga” jawabku tak peduli.
Hari untuk berangkat kuliah dan itu berarti aku akan menjadi mahasiswa sudah semakin dekat, aku semakin setres memikirkannya ditambah lagi hari itu aku berangkat ke kampus untuk daftar Mabim dan aku tambah setres karena bentar lagi akan diadakan ospek untuk mahasiswa baru.
Aku berangkat ke kampus untuk daftar Mabim naik motor Honda Grand tahun 97, dengan helmt yang tidak berkaca serta seher mesin yang sudah harus di ganti (namun belum diganti) yang mengakibatkan kenalpot motor menjadi berasap sehingga setiap jalan udah kayak orang jualan sate naik motor namun asapnya membuat perut mual.
Sesampainya di kampus terdapat beberapa mahasiswa yang sedang daftar Mabim juga, banyak mahasiswa yang berlalu lalang, banyak motor dan mobil berjejer rapih di parkiran dan ketika ku lihat motorku sangat miris sekali kayaknya aku salah nyimpen motor harusnya ku simpan di tempat loakan (Orang jual barang bekas).
“Namanya siapa ?” Tanya orang di stand pendaftaran Mabim.
“Derif Rys Gumilar”. Jawabku datar.
“Jurusan apa ?”
“FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia”.
Orang itu lalu mendata kemudian memberikan kertas putih yang dibalut dalam amplop berwarna coklat.
“Ya udah” kata orang yang aku gak tau namanya “Nanti hari senin berangkat pakai baju hitam putih bawa persyaratannya seperti yang ada di kertas itu”
“Iya” Jawabku sok cool, biar kayak mahasiswa beneran padahal aku menahan malu.
Selesai daftar Mabim aku duduk di tangga kampus. Aku duduk berharap seperti di sinetron-sinetron Indonesia yang pernah aku lihat dimana ada cowok lagi duduk dan tiba-tiba ada segrombolan cewek-cewek alay menyapanya dan aku ingin seperti itu namun setelah kurang lebih satu jam aku duduk dan tetap tidak ada cewek bahkan cowok pun tidak ada yang menghampiriku, ironis memang.
Aku pulang dari kampus. Sesampainya di rumah, aku mempersiapkan persyaratan-persyaratan untuk ospek.
“Bu” Tanyaku dengan muka sok sibuk “ada baju putih kan ?”
“Ada” Jawab ibuku “untuk apa?”
“Untuk ospek bu, aku di suruh pake seragam hitam putih”
“Oh” jawab ibu
Syukurlah ibu mengerti maksudku.
“Berarti tadi ibu ke pasar ada yang ospek juga ya ?” sambut ibuku.
“Kok yang ospek di pasar ?”
“Itu tadi ada cowok dan cewek pake seragam hitam putih di pasar” jawab ibu sambil menyakinan aku bahwa yang di pasar itu orang yang sedang ospek “kayaknya mereka ambil jurusan listrik deh soalnya mereka bawa barang-barang elektronik loh Dey, banyak banget barang-barang yang mereka bawa.”
            Hening.
            Aku membayangkan jika para Sales (kata ibu : orang ospek jurusan listrik yang di pasar) itu membawa barang elektronik. Naaah, aku yang masuk fakutas keguruan dan ilmu pendidikan nanti aku akan bawa bangku sekolah, papan tulis, spidol atau sekalian aku bawa sekolahan ke kampus.
            Ibu memang seperti itu orangnya. Kadang sok tau, mendramatisir sesuatu karena sering nonton sinetron, kadang juga mengalah. mengalahnya ibu itu adalah senjata utamanya agar kemauannya dituruti oleh anak-anaknya, salah satu anaknya adalah aku. Waktu itu ibu pernah menggunakan senjata utamanya kepadaku.
            “Dey nanti anter ibu belanja yaa buat acara ulang tahun Indy.”
            Indy adalah adikku yang ke dua, dia akan genap berumur 3 tahun.
.           “Gak bisa bu” jawabku “hari ini ada janji sama temen.”
            “Oh ya udah gak apa-apa.”
            “Iya.” Jawabku datar, gak peduli.
            “Oh iya Dey nanti kamu mandi, makan dan tidur di rumah temen kamu aja.”
            “Laah kenapa kok gitu bu ?”
            “Kan kamu lebih mementingkan temen kamu dari pada ibu.”
            Aku bersimpuh dan menangis. Ibu ampuni aku.
            Dalam keluargaku, semuanya memanggil aku dengan sebutan Dey semua itu gara-gara ibu juga. Ibu bilang “ibu menggil kamu Dey aja jangan Rif lagi biar beda dengan yang lain.”
            Atas bantuan Ibuku, persiapan mencari persyaratan untuk ospek pun hari itu selesai juga. Sekarang, tinggal mempersiapkan diri untuk ikhlas dalam mengikuti ospek yang akan dimulai besok.
            Aku bergegas untuk istirahat. Aku masuk ke kamar tidur untuk memejamkan mata. Aku terbaring sambil memeluk guling, tak lupa alarm di nyalakan untuk membangunkanku di kala senja mulai menyapa.
            Pagi sudah datang.
            “Kriiing Kriiiing” bunyi alarm
            Aku tak peduli.
            “Kriiing”
            Makin tak peduli. Ku lihat jam dan cuma bilang “Oh” terus tudur lagi.
            Bangun-bangun ternyata sudah jam 8 pagi sementara ospek dimulai jam 05.30 pagi. Aku terlambat. Aku pusing memikirkannya antara berangkat atau tidak. Namun, dengan bijak ku pilih tidak berangkat. Sore hari aku dapat kabar katanya kalau tidak berangkat besok akan dapat hukuman. Aku makin pusing, dengan tenang aku mencoba berpikir jernih namun aku tambah makin pusing.
            Hari kedua, aku tidak ikut ospek karena takut di hukum gara-gara kemarin tidak berangkat.
            Hari ketiga, aku tidak ikut ospek lagi karena hari kedua aku tidak berangkat.
            Hari keempat, aku tidak ikut ospek lagi karena hari ketiga aku tidak berangkat.
Dan seterusnya hingga akhirnya aku tidak ikut ospek selama satu minggu. Aku tenang karena hukuman gara-gara tidak ikut ospek telah hilang, aku bebas.
            “Brow” kata Yogi “Yang gak ikut ospek nanti akan dikumpulkan dan dapat hukuman dari pihak kampus.”
“Oya ?” jawabku santai dengan tatapan sok cool.
Padahal aku setres memikirkan pernyataan dari Yogi. Aku tidak pusing tapi aku jadi gila, gila gara-gara tidak ikut ospek.
Hari pertama kuliah aku berangkat naik mobil metro mini. Dalam mobil yang lumayan sempit karena berdesak-desakan dengan penumpang yang lain ditambah aroma parfum para penumpang yang bercampur menjadi satu aroma baru yang membuat perut jadi mual. Sesekali penumpang turun dari metro mini namun tidak lama berganti dengan penumpang baru.
Sesampainya di kampus, ku pelankan langkah kakiku. Gila, di kampus sudah ramai, terdapat wajah-wajah yang tak ku kenal. Semua jenis wajah ku lihat berserakan, mulai dari yang cantik, ganteng, lumayan, sampai kaya mukaku yang belum memenuhi standar nasional Indonesia.
Di depan mushola kampus, ku duduk seperti orang yang nyasar. Tengok kanan kiri dengan mata kosong, ku mencari ruangan dimana ruangan itu akan menjadi kelasku.
Biasanya ketika kita terdampar di lingkungan yang baru, kita akan menemukan orang yang sedang terdampar juga yang belum memiliki teman, seperti aku.
Aku masih duduk sendirian tiba-tiba datanglah sesosok laki-laki botak yang tak ku kenal.
“Mas” ucap dia sambil menjulurkan tanggannya untuk bersalaman “ambil jurusan apa?”
“Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia” Jawabku sok akrab. “Lo ambil jurusan apa?” sambutku.
“Pendidikan Matematika.”
Pantesan laki-laki itu rambutnya botak mungkin karena kebanyakan memikirkan rumus-rumus matematika. Sedangkan rumus-rumus yang aku tau hanya: kenalan, janjian buat ketemuan, jalan, jadian, marah-marahan, diselingkuhin, dan akhirnya putus.
“Waktu ospek ikut gak ?” tanya laki-laki misterius itu.
“Ikut dong” jawabku membohongi dia dengan penuh keyakinan.
Dia bercerita tentang kejadian-kejadian di saat ospek dan aku menghargai cerita dia, ku coba tertawa terpaksa “haaaa”.
Sampai saat ini aku belum kenal siapakah nama laki-laki misterius itu.
Mendengarkan dia bercerita tentang kejadian waktu ospek, aku teringat akan pernyataan Yogi tentang hukuman bagi yang tidak mengikuti ospek. Aku semakin stres memikirkannya, terlebih sekarang aku sedang berada di kampus tapi setelah berjam-jam aku merasa takut terkena hukuman, yang selalu melekat di pikiranku, untungnya ada mahasiswa senior yang berkata kepadaku bahwa hukuman itu hanya gertakan dari kakak tingkat saja.
Semuanya berjalan lancar tanpa halangan. Pusing dan stres gara-gara memikirkan tidak ikut ospek kini hilang seketika. Sekarang rasanya sudah seperti ibu-ibu yang selama sembilan bulan mengandung kemudian melahirkan, ploooong banget.
Setelah aku mencari-cari kelas apa yang bersedia menampung saya selama kuliah, akhirnya ku temukan namaku terdaftar di kelas G. Aku bersimpuh dan sujud syukur, Allhamdulilah ternyata aku dianggap juga di kampus meski tidak ikut ospek. Sekarang aku fokus ke Kelas G yang akan menjadi kelasku selama kuliah.
Kisah baru siap dimulai.
Ketika kita berada di lingkungan baru kita juga akan mendapatkan kisah baru yang tak pernah kita tau sebelumnya. Mungkin kisah yang baru akan berbeda dengan kisah-kisah sebelumnya yang kini telah menjadi kenangan. Kenangan yang mungkin akan dilupakan. Dan kenangan di waktu yang lalu apakah dengan mudah akan kita lupakan saat kita sudah mendapatkan kisah baru ?



Karya Derif Rys Gumilar

Follow Twitter  @Gumilar_
Facebook : eriefgilaraquino@rocketmail.com
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar