Jalan
Perjuangan no. 01 Cirebon, kampus 2 Universitas Swadaya Gunung Jati atau lebih
dikenal dengan sebutan Unswagati Cirebon. Kampus 2 khusus untuk mahasiswa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan di sana tempat aku belajar
selama kurang lebih 4 tahun kedepan. Jarak antara rumah ke kampus kurang lebih
45 menit itu pun kalau jalannya tidak macet.
Hari
itu tepatnya hari senin aku berangkat ke kampus dengan agenda mencari ruang
kelas G. Aku berangkat jam 08.00 pagi untungnya hari itu aku bisa bangun pagi.
“Bu, aku berangkat”
ucapku ke Ibu.
“Mau
kemana ?” jawab ibu.
“Ke
kampus”
“Aduh
anak ibu udah jadi mahasiswa sekarang” jawab Ibu dengan mata nanar “hati-hati
ya anakku, belajar yang rajin”
“Hmmmmm”
Ya
elah lebaynya ibu, ini cuma mau berangkat ke kampus itu juga cuma nyari kelas
udah kaya mau berangkat jauh terus gak pulang-pulang selama 3x puasa dan 3x
lebaran.
Sesampainya
di depan kampus, ketika sendirian tidak ada teman kita pasti hanya
bertanya-tanya dalam hati terhadap hal yang belum kita tau. Begitu pun dengan
aku, aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, apakah benar ini kampusnya ?
kayaknya benar tapi kok kayak bukan kampus. Kulihat alamat kampus yang tertulis
di kertas yang aku bawa, lagi-lagi aku tak percaya, apakah ini jalan Perjuangan
?. Untuk sekedar tau, aku tidak tau nama-nama jalan yang ada di Cirebon
terlebih aku tidak suka jalan-jalan, hal itu yang membuat aku jadi tunanetra
dalam hal jalan.
Setelah
lama ku diam dan merenung antara benar atau tidak di depan kampus (yang
kayaknya bukan kampus) aku memberanikan diri untuk masuk. Ku lihat kondisi
lingkungan kampus “Ini kayanya bukan kampus tapi ini benar kampus”. Hal pertama
kali yang keluar dari ucapanku, Gila, ini
beneran kampus 2. Kampusnya aneh, kecil, bentuknya lonjong kaya rumah sakit
tapi bukan tempat orang sakit, ruangan depannya ada tiga lantai dan bagian
belakangnya lurus seperti orang kejang-kejang.
Di
tempat parkir, ku parkirkan motor milikku. Sempit banget tempatnya tapi tak
apalah setidaknya motorku aman paling pas pulang cuma lecet-lecet sedikit
terkena motor-motor yang lain.
Setapak
demi setapak ku langkahkan kaki menuju ruang kelas G tapi yang jadi masalah
dimana rungannya. Ku lihat banyak mahasiswa baru yang sedang kebingungan
mencari ruangan kelasnya sama seperti aku yang nyasar-nyasar dari kelas yang
satu ke kelas yang lainnya.
Aku
berjalan ke lantai dasar kampus kemudian lanjut lagi ke larong kampus dan masih
belum ketemu juga ruang kelas G. Aku naik ke lantai tiga, mondar-mandir tak
menentu lalu turun ke lantai dua dan balik lagi ke lantai dasar dan tetap aku
belum menemukan ruangan yang bernama kelas
G.
Aku
duduk di depan ruang dosen berharap ada yang menemukan aku yang sedang
terdampar kebingungan, dan benar saja ada laki-laki yang menghampiriku.
“Jurusan
apa mas ?” ucap laki-laki itu.
“Bahasa
Indonesia”
“Berarti
sama, kelas apa ?”
“Kelas
G”
“Sama
gue juga kelas G”
Aku
tersenyum lebar dengan mata yang sumbringah, akhirnya ada yang akan menemaniku
menuju kelas G.
“Dimana
kelasnya mas ?” tanyaku bersemangat.
“Gue
juga gak tau dimana kelasnya” jawab laki-laki itu.
Hening.
Yaaah
sekarang berarti bukan hanya satu orang yang nyasar-nyasar nyari kelas tapi
jadi dua orang, satu orang yang nyasar dan satunya lagi pelengkap penderita
akibat nyasar-nyasar.
Sambil
mencari kelas aku ngobrol-ngobrol dengan laki-laki itu, mulai dari bertanya
nama, alamat rumah sampai punya pacar atau tidak. Ketika dia bertanya kepadaku
tentang punya pacar atau tidak, aku jawab dengan bercanda, satu-satunya alasan
aku kuliah adalah agar aku bisa memiliki pacar.
Mulai
dari mencari kelas bersama kini aku tau nama dia. Dia bernama Iif Rifky Raki
Putra, panjang banget namanya tapi dia di panggilnya dengan nama Iif. Ya Iif
singkat banget berbeda dengan nama lengkapnya.
Setelah
lama mencari-cari ruang kelas, akihirnya aku mendapatkan titik terang. Titik
terang itu mulai terlihat. Aku berdiri di depan ruangan yang bertulisakan kelas G Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Aku sangat senang, akhirnya ku temukan juga kelasku. Akibat rasa senang yang berlebihan aku ingin
loncat-loncat kegirangan sambil berkata, horeee-horeee tapi tidak saling
berpelukan dengan Iif.
Di
depan ruang kelas G sudah berkumpul anak-anak yang lain yang tentunya sebelum
menemukan ruangan kelas G nyasar-nyasar
juga sama seperti aku.
“Aku
kelas G, Lo kelas apa ?” tanyaku mengakrabkan diri.
“Sama”
jawab salah seorang dari merka “Gue juga kelas G”
“Ini
kelas G semua ?” tanyaku kembali
“Iya”
Aku
baru sadar ternyata pertanyaanku tidak berbobot. Mereka lagi duduk di depan
ruang kelas G yaa mereka juga pasti kelas G, rasanya udah pengen loncat dari
lantai 3 untuk menutupi rasa malu atas pertanyaan yang gak berbobot itu.
Aku
masuk ke dalam ruangan kelas, kulihat ruangan dalam kelasnya. Banyak kursi
berwarna biru berjejer rapih. Di depan kursi-kursi itu, terdapat papan tulis
berwarna putih dan beberapa spidol disertai penghapusnya membuat suasana kelas
menjadi lebih harmonis. Di tembok bagian atas terdapat dua AC yang dua-duanya
tidak berfungsi membuat suasana menjadi gerah. Karena gerah membuatku ingin
membuka baju yang menempel di badanku tapi niat itu aku urungkan kembali takut
nanti teman-teman yang baru aku kenal dan belum tau namanya berfikir aku punya
kelainan.
Perkenalan
dengan teman-teman kelas dimulai. Semua mahasiswa kelas G masuk ke dalam kelas.
Satu per satu maju memperkenalkan diri, mulai dari nama, alamat, hobi, alasan
masuk jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sampai ke hal yang gak
penting: jenis kelamin. Yaa jelas jenis kelamin tidak harus di perkenalkan. Aku
berfikir jika jenis kelamin di perkenalkan nanti perkenalannya seperti apa ?
apa ketika salah seorang teman bertanya kepadaku, ‘kamu jenis kelaminnya apa ?’
terus ku jawab ‘liat aja sendiri terus tanya sama kelamin punya saya’. Aneh.
Dari
perkenlan dengan teman-teman kelas G itu, sekarang aku tau mahasiswa kelas G
berjumlah 25 mahasiswa. 11 laki-laki dan 14 perempuan (tetep tanpa perkenalan dengan jenis kelaminnya). Cukup banyak
mahasiswa kelas G yang akan menjadi temanku. Dari 25 mahasiswa, termasuk aku
dan dari sekian banyak masasiswa itu aku memiliki teman akrab hanya Iif aja
mungkin karena baru kenal jadi canggung untuk ngobrol dengan yang lainnya.
Hari
itu, di kampus cukup lama padahal hanya perkenalan saja tapi dari perkenalan
itu ada hal yang paling saya suka. Ya berbagi nomor telepon, terlebih aku
sedang tidak memiliki pacar.
Ku
sebut itu berbagi nomor telepon bukan tukeran nomor telepon. Entah kenapa jika
tukeran nomor telepon terdengan seperti anak alay yang sudah lama tidak
mendapatkan pacar terus karena lamanya dia tidak tahu cara mendapatkan pacar
dia menggunakan senjata terakhirnya yaitu tukeran nomor telepon.
Berbagi
nomor telepon terdengar lebih halus dengan tujuan utamanya untuk
menginformasikan masalah kuliah namun bagiku tujuan utamanya bukan untuk
masalah kuliah namun mengenal lebih jauh satu sama lain khususnya perempuan. Aku memang cerdik.
Mendadak
kontak di hp-ku menjadi banyak dan tetep yang paling banyak nomor perempuan.
Agar
menjadi akrab, setiap malam aku sms ke nomor-nomor yang ada di kontak hp (Tetep ke nomor Perempuan). Sms yang
sebenarnya gak penting, seperti ini.
Aku
: eh mau tanya, kuliah aktifnya kapan ya ?
Dia
: Nanti lusa.
Aku
: mata kuliahnya apa aja ?
Dia
: Linguistik umum dan Fonologi
Aku
: Oh. Kamu lagi apa ?
Dia
tidak membalasnya.
Entah
kenapa setiap kali aku sms ‘Lagi apa?’ pasti tidak di balas.
Setelah
sms ke nomor cewek-cewek kelas namun tidak di balas, aku coba sms Iif “Lagi
apa?” dan ternyata Iif membalas pesan dariku. Apa yang terjadi dari diri aku, kalau
sms ke nomor cewek pasti tidak di balas tapi jika sms ke nomor cowok pasti
langsung di balas. Kesimpulan yang saya dapatkan cuma dua: 1) aku terlalu norak sehingga teman-teman yang cewek tidak mau membalas
pesan dariku, atau 2) temen-teman
cowok yang di kelas G homo semua. Apalah itu yang penting aku bukan homo.
Dari
sms itu sekarang aku tahu (padahal memang
sudah tau) kuliah dimulai hari Rabu dengan mata kuliah Fonologi dan
Linguistik Umum. Permasalahan mulai timbul, aku tidak tau apa itu fonologi dan
apa pula itu linguistik umum. Namun itu wajar karena perkuliahan belum dimulai.
Pagi
sudah memaksaku untuk beranjak dari tempat tidur. Aku berangkat ke kampus untuk
memulai perkulaiahan.
Sesampainya
di kampus ternyata sudah ada empat sosok mahasiswa yang menghuni kelas G.
Mereka semuanya laki-laki. Empat mahasiswa itu datang telalu pagi, entah karena
mereka rajin atau juga karena mereka tidak memiliki jadwal mata kuliah jadi
tidak tau masuk kuliah jam berapa.
Seperti
halnya sebuah lingkungan yang di huni oleh manusia, pasti ada segerombolan
manusia di lingkungan tersebut yang ingin menguasai lingkungannya. Begitu pula
di kelas G. Ku lihat empat orang itu, muka mereka terlihat bringas, tatapannya
seperti mengisyaratkan sebentar lagi empat sekawan itu akan membuat Cirebon
gempa bumi bercampur dengan tsunami. Dan mereka bernama Hanafi, Hermanto, Alan
dan Rovi.
Deskripsi
kesangaran penampakan fisik empat sekawan:
Hanafi : Berbadan setangah tinggi, putih,
matanya selalu melotot, latah, giginya di kasih kawat yang menandakan giginya
buas yang selalu menggigit apa pun yang dia lihat.
Hermanto
: Berbadan kekar, sawo matang dan rambutnya keritng yang menandakan dia selalu
dijambak ketika berkelahi.
Alan : Kurus dan berbadan pendek,
rambutnya dibelah pinggir dengan gaya catokannya yang menandakan dia selalu
bermain dengan anak-anak alay yang bisa saja tiba-tiba dia menyerangku dengan
jogetan gaya anak alay itu.
Rovi : Pendek, berbadan kurus, putih,
kalau nonton film Radit&Jani sampai nangis yang menandakan kalau berkelahi
lebih suka menontonnya dan jika ada yang kalah dia akan berkata
‘Tidaaaaaaaaaakk’ di bawah rintik hujan (Sinetron
abis).
“Hey”
sapaku kepada mereka.
Mereka
tak peduli dengan sapaku. Lalu aku mencari tempat duduk. Ku duduk di samping
mereka. Aku diam dan mendunduk, bukan karena takut sama mereka tapi aku mencari
pulpen yang terjatuh saat aku duduk.
Mereka
mendekati. Matanya tertuju padaku. Aku diam.
Masih
diam.
Aku
menundukan kepalaku. Dan tetap diam.
“Hey”
ucap salah satu dari mereka.
“Iya”
“Sekarang
mata kuliah apa?”
“Fonologi
dan linguistik umum”
“Jam
berapa masuknya ?”
“
Jam 09.15”
“Kampret
!!!”
Mampus,
dia bilang kampret di depanku. Jangan-jangan mereka akan ngobrol di depanku
kemudian salah satu dari mereka tiba-tiba muncul dari belakang dan memukulku
dengan benda tumpul (baca: Spidol). Tuhan terimalah nasibku.
“Kee-enapa
?”
“Gue
datang kepagian, jam 7 gue udah di kampus.”
“Oh”
Lega.
Legaa. Legaaaaaa.
Satu
demi satu penghuni kelas G mulai berdatangan masuk ke dalam kelas. Aku mulai
bersemangat untuk belajar dan lebih jelasnya, belajar untuk mengenal
teman-teman baru.
Permasalahan
mulai datang ketika semua anak-anak kelas G sudah masuk sekarang tinggal
menunggu dosennya. Dosen ? kata dosen bagiku terdengar labih horor dibandingan
dengan kata guru. Kata dosen di pikiranku adalah orang tinggi besar, gemuk,
kepalanya beruban, pake kacamata dan jika ada mahasiswa yang yang salah
langsung memarahinya dengan suara yang berat sambil tangannya menunjuk-nunjuk
ke arah wajah tersangka pelaku kesalahan.
“Dosennya
mana ?” ucap anak-anak yang mengemuruh kehilangan sosok dosen yang tak kunjung
datang.
“Iya
mana ?” sambutku biar terlihat niat banget belajar.
Dalam
hati berkata yess hari ini, pertama
kalinya kuliah dan dosennya gak ada.
Suasana
kelas jadi tidak terkontrol. Ada yang ngobrol dengan teman-teman barunya, ada
yang diam saja, ada yang mondar-mandir cengengesan dan dia yang cengengesan itu
adalah...Aku.
Dalam
suasana kelas yang tidak karuan ada dua cewek menghampiriku. Berkerudung,
putih, tinggi, rambutnya lurus (enggak,
kan berkerudung). Mereka makin mendekati. “dia pasti ingin berkenalan
dengan paras wajah miliku yang tidak harmonis ini”. Dan dia kini duduk di
sampingku. “Yess!”.
“Hey”
Sapanya disertai dengan hembusan angin yang membelah kegersangan.
“Yaaa”
Jawabku sambil memberikan senyuman manis semanis madu.
“Namanya
siapa ?”
“Derif Rys Gumilar tapi panggil aja saya
Derif”
Yess
dia menayakan namaku pasti dia ingin berkenalan lebih jauh lagi denganku.
“Nama
ka....” pertanyaanku dipotong oleh mereka yang langsung menyuruh saya.
“Orang
yang udah saya kenal kan cuma kamu jadi tolong panggilin dosennya dong soalnya
saya belum kenal sama temen-temen cowok yang lainnya.”
Oh
petir sambarlah aku.
“O..ke”
jawabku sambil menarik napas kepedean yang telah keluar.
Aku
mencari dosen mata kuliah Fonologi itu. Yang jadi masalah, aku tidak tau
seperti apa rupa dosennya, jangankan orangnya nama dosennya saja aku tidak tau
tapi aku tetap mencari demi mahasiswa kelas G, seolah-olah disini saya berperan
sebagai superhero yang akan
menyelamatkan seluruh mahasiswa penghuni kelas G dengan nama superheronya Perjuanganman karena kampusnya bertempat
di jalan perjuangan.
Untuk
mencari dosen di ruang prodi, Aku menuruni tangga sambil celingukan.
Naik
lagi.
Turun
lagi.
Naik
lagi.
Turun
lagi (dan tetep sambil celingukan).
Naik
lagi. Dan capek juga.
Akhirnya
aku bilang ke seluruh mahasiswa kelas G dengan bijak “Gak ada dosennya”. Cewek
yang tadi menyuruhku mencari dosen bertanya, “emang kamu tau gak dosennya yang
mana ?” dengan polos ku jawab “Gak tau”. “WAAH KAMPRET !!!” seru dia.
Dalam
suasana yang tidak terkontrol itu gara-gara tidak ada dosen (dosen tidak
aku temukan), kelas jadi kayak kandang
ayam. Kandang ayam yang ber-AC.
Kelas
semakin ribut, aku hanya melihat teman-teman yang baru aku kenal ini. Tanpa
kata. Ku perhatikan tingkah mereka. Semua terlihat sangat antusias akan kuliah
dan teman-teman baru di kelas G ini. Aku masih diam. Dalam hati aku bertanya
“Apakah benar ini kelas yang akan menuntunku, apakah aku akan sesenang mereka
sampai empat tahun kedepan ?”.
Empat
sekawan itu membangunkanku dalam lamunan.
“Udah
biar kita aja yang cari dosennya.”
“Haah”
Sesaat
aku terkejut.
Mereka
mencari dosen ke ruang prodi.
Tak
lama kemudian mereka masuk ke kelas lagi dan mereka berkata “Bentar lagi
dosennya masuk”.
Ingatanku
kembali ke beberapa jam yang lalu ketika aku baru melihat mereka di dalam kelas
dan aku yang menyangka mereka bakal jadi preman di kelas. Tanpa pikir panjang
aku menghampiri mereka dan mulai ngobrol dengan mereka.
Setelah
ngobrol-ngobrol dengan mereka, ternyata mereka orangnya cukup asik, cukup
pintar dalam memecahkan sesuatu terlebih memecahkan kaca. Mereka juga pandai
bergaul, rajin menabung. Mereka sangat rajin menabung, biasanya mereka
tabungkan uangnya di kantin. Ya kantin.
Sebenarnya
mereka baik cuma mungkin dengan penampilan seperti itu mereka terlihat seperti
layaknya preman dalam sebuah lingkungan yang mencoba ingin menguasai
lingkungannya.
Terkadang
kita melihat orang dari penampilannya saja tetapi kita tidak melihat orang
tersebut dari sisi yang lain. Mungkin hati. Ya hatinya belum tentu sama dengan
penampilannya, seperti apa yang aku lihat dari empat orang itu. Aku sudah salah
menilai mereka. Ku kira mereka tipikal orang yang salah dalam bergaul dan
mungkin saja mereka juga akan menjerumuskan setiap insan baik seperti aku (baik kalau kalau ada maunya). Ternyata
aku salah menilai. Dan dari penilaianku terhadap mereka (yang ternyata salah
menilai) mungkin saja ada juga yang menilaiku yang juga dari penampilan luarnya
saja. Pertanyaannya, apakah itu fungsinya mata serta logika yang hanya menilai
dari penampilan luarnya saja ?
Karya Derif Rys Gumilar
Facebook : eriefgilaraquino@rocketmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar