Selamat Datang, Baca, Pahami dan Rasakan dari Sebuah Tulisan

Selamat Datang, Baca, Pahami, dan Renungkan Makna Indahnya Kenganan dari Sebuah Tulisan
Kenangan tidak mudah untuk dilupakan hanya hilang ingatan yang bisa mengobatinya. Sekecil apa pun kenangan akan tetap berada di pikiran.
Kado Terakhir Untukmu menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi, dilewati dan dirasakan sebagai bentuk apresiasi pada sebuah kenangan.
Tulislah apa yang kita rasakan dan rasakan apa yang kita tulis.


Jumat, 29 Agustus 2014

Cerita Baru dalam Kelas G



Jalan Perjuangan no. 01 Cirebon, kampus 2 Universitas Swadaya Gunung Jati atau lebih dikenal dengan sebutan Unswagati Cirebon. Kampus 2 khusus untuk mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan di sana tempat aku belajar selama kurang lebih 4 tahun kedepan. Jarak antara rumah ke kampus kurang lebih 45 menit itu pun kalau jalannya tidak macet.
Hari itu tepatnya hari senin aku berangkat ke kampus dengan agenda mencari ruang kelas G. Aku berangkat jam 08.00 pagi untungnya hari itu aku bisa bangun pagi.
“Bu, aku berangkat” ucapku ke Ibu.           
“Mau kemana ?” jawab ibu.
“Ke kampus”
“Aduh anak ibu udah jadi mahasiswa sekarang” jawab Ibu dengan mata nanar “hati-hati ya anakku, belajar yang rajin”
“Hmmmmm”
Ya elah lebaynya ibu, ini cuma mau berangkat ke kampus itu juga cuma nyari kelas udah kaya mau berangkat jauh terus gak pulang-pulang selama 3x puasa dan 3x lebaran.
Sesampainya di depan kampus, ketika sendirian tidak ada teman kita pasti hanya bertanya-tanya dalam hati terhadap hal yang belum kita tau. Begitu pun dengan aku, aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, apakah benar ini kampusnya ? kayaknya benar tapi kok kayak bukan kampus. Kulihat alamat kampus yang tertulis di kertas yang aku bawa, lagi-lagi aku tak percaya, apakah ini jalan Perjuangan ?. Untuk sekedar tau, aku tidak tau nama-nama jalan yang ada di Cirebon terlebih aku tidak suka jalan-jalan, hal itu yang membuat aku jadi tunanetra dalam hal jalan.
Setelah lama ku diam dan merenung antara benar atau tidak di depan kampus (yang kayaknya bukan kampus) aku memberanikan diri untuk masuk. Ku lihat kondisi lingkungan kampus “Ini kayanya bukan kampus tapi ini benar kampus”. Hal pertama kali yang keluar dari ucapanku, Gila, ini beneran kampus 2. Kampusnya aneh, kecil, bentuknya lonjong kaya rumah sakit tapi bukan tempat orang sakit, ruangan depannya ada tiga lantai dan bagian belakangnya lurus seperti orang kejang-kejang.
Di tempat parkir, ku parkirkan motor milikku. Sempit banget tempatnya tapi tak apalah setidaknya motorku aman paling pas pulang cuma lecet-lecet sedikit terkena motor-motor yang lain.
Setapak demi setapak ku langkahkan kaki menuju ruang kelas G tapi yang jadi masalah dimana rungannya. Ku lihat banyak mahasiswa baru yang sedang kebingungan mencari ruangan kelasnya sama seperti aku yang nyasar-nyasar dari kelas yang satu ke kelas yang lainnya.
Aku berjalan ke lantai dasar kampus kemudian lanjut lagi ke larong kampus dan masih belum ketemu juga ruang kelas G. Aku naik ke lantai tiga, mondar-mandir tak menentu lalu turun ke lantai dua dan balik lagi ke lantai dasar dan tetap aku belum menemukan ruangan yang bernama kelas G.
Aku duduk di depan ruang dosen berharap ada yang menemukan aku yang sedang terdampar kebingungan, dan benar saja ada laki-laki yang menghampiriku.
“Jurusan apa mas ?” ucap laki-laki itu.
“Bahasa Indonesia”
“Berarti sama, kelas apa ?”
“Kelas G”
“Sama gue juga kelas G”
Aku tersenyum lebar dengan mata yang sumbringah, akhirnya ada yang akan menemaniku menuju kelas G.
“Dimana kelasnya mas ?” tanyaku bersemangat.
“Gue juga gak tau dimana kelasnya” jawab laki-laki itu.
Hening.
Yaaah sekarang berarti bukan hanya satu orang yang nyasar-nyasar nyari kelas tapi jadi dua orang, satu orang yang nyasar dan satunya lagi pelengkap penderita akibat nyasar-nyasar.
Sambil mencari kelas aku ngobrol-ngobrol dengan laki-laki itu, mulai dari bertanya nama, alamat rumah sampai punya pacar atau tidak. Ketika dia bertanya kepadaku tentang punya pacar atau tidak, aku jawab dengan bercanda, satu-satunya alasan aku kuliah adalah agar aku bisa memiliki pacar.
Mulai dari mencari kelas bersama kini aku tau nama dia. Dia bernama Iif Rifky Raki Putra, panjang banget namanya tapi dia di panggilnya dengan nama Iif. Ya Iif singkat banget berbeda dengan nama lengkapnya.
Setelah lama mencari-cari ruang kelas, akihirnya aku mendapatkan titik terang. Titik terang itu mulai terlihat. Aku berdiri di depan ruangan yang bertulisakan kelas G Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku sangat senang, akhirnya ku temukan juga kelasku.  Akibat rasa senang yang berlebihan aku ingin loncat-loncat kegirangan sambil berkata, horeee-horeee tapi tidak saling berpelukan dengan Iif.
Di depan ruang kelas G sudah berkumpul anak-anak yang lain yang tentunya sebelum menemukan ruangan kelas G  nyasar-nyasar juga sama seperti aku.
“Aku kelas G, Lo kelas apa ?” tanyaku mengakrabkan diri.
“Sama” jawab salah seorang dari merka “Gue juga kelas G”
“Ini kelas G semua ?” tanyaku kembali
“Iya”
Aku baru sadar ternyata pertanyaanku tidak berbobot. Mereka lagi duduk di depan ruang kelas G yaa mereka juga pasti kelas G, rasanya udah pengen loncat dari lantai 3 untuk menutupi rasa malu atas pertanyaan yang gak berbobot itu.
Aku masuk ke dalam ruangan kelas, kulihat ruangan dalam kelasnya. Banyak kursi berwarna biru berjejer rapih. Di depan kursi-kursi itu, terdapat papan tulis berwarna putih dan beberapa spidol disertai penghapusnya membuat suasana kelas menjadi lebih harmonis. Di tembok bagian atas terdapat dua AC yang dua-duanya tidak berfungsi membuat suasana menjadi gerah. Karena gerah membuatku ingin membuka baju yang menempel di badanku tapi niat itu aku urungkan kembali takut nanti teman-teman yang baru aku kenal dan belum tau namanya berfikir aku punya kelainan.
Perkenalan dengan teman-teman kelas dimulai. Semua mahasiswa kelas G masuk ke dalam kelas. Satu per satu maju memperkenalkan diri, mulai dari nama, alamat, hobi, alasan masuk jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sampai ke hal yang gak penting: jenis kelamin. Yaa jelas jenis kelamin tidak harus di perkenalkan. Aku berfikir jika jenis kelamin di perkenalkan nanti perkenalannya seperti apa ? apa ketika salah seorang teman bertanya kepadaku, ‘kamu jenis kelaminnya apa ?’ terus ku jawab ‘liat aja sendiri terus tanya sama kelamin punya saya’. Aneh.
Dari perkenlan dengan teman-teman kelas G itu, sekarang aku tau mahasiswa kelas G berjumlah 25 mahasiswa. 11 laki-laki dan 14 perempuan (tetep tanpa perkenalan dengan jenis kelaminnya). Cukup banyak mahasiswa kelas G yang akan menjadi temanku. Dari 25 mahasiswa, termasuk aku dan dari sekian banyak masasiswa itu aku memiliki teman akrab hanya Iif aja mungkin karena baru kenal jadi canggung untuk ngobrol dengan yang lainnya.
Hari itu, di kampus cukup lama padahal hanya perkenalan saja tapi dari perkenalan itu ada hal yang paling saya suka. Ya berbagi nomor telepon, terlebih aku sedang tidak memiliki pacar.
Ku sebut itu berbagi nomor telepon bukan tukeran nomor telepon. Entah kenapa jika tukeran nomor telepon terdengan seperti anak alay yang sudah lama tidak mendapatkan pacar terus karena lamanya dia tidak tahu cara mendapatkan pacar dia menggunakan senjata terakhirnya yaitu tukeran nomor telepon.
Berbagi nomor telepon terdengar lebih halus dengan tujuan utamanya untuk menginformasikan masalah kuliah namun bagiku tujuan utamanya bukan untuk masalah kuliah namun mengenal lebih jauh satu sama lain khususnya perempuan. Aku memang cerdik.
Mendadak kontak di hp-ku menjadi banyak dan tetep yang paling banyak nomor perempuan.
Agar menjadi akrab, setiap malam aku sms ke nomor-nomor yang ada di kontak hp (Tetep ke nomor Perempuan). Sms yang sebenarnya gak penting, seperti ini.
Aku : eh mau tanya, kuliah aktifnya kapan ya ?
Dia : Nanti lusa.
Aku : mata kuliahnya apa aja ?
Dia :  Linguistik umum dan Fonologi
Aku : Oh. Kamu lagi apa ?
Dia tidak membalasnya.
Entah kenapa setiap kali aku sms ‘Lagi apa?’ pasti tidak di balas.
Setelah sms ke nomor cewek-cewek kelas namun tidak di balas, aku coba sms Iif “Lagi apa?” dan ternyata Iif membalas pesan dariku. Apa yang terjadi dari diri aku, kalau sms ke nomor cewek pasti tidak di balas tapi jika sms ke nomor cowok pasti langsung di balas. Kesimpulan yang saya dapatkan cuma dua: 1) aku terlalu norak sehingga teman-teman yang cewek tidak mau membalas pesan dariku, atau 2) temen-teman cowok yang di kelas G homo semua. Apalah itu yang penting aku bukan homo.
Dari sms itu sekarang aku tahu (padahal memang sudah tau) kuliah dimulai hari Rabu dengan mata kuliah Fonologi dan Linguistik Umum. Permasalahan mulai timbul, aku tidak tau apa itu fonologi dan apa pula itu linguistik umum. Namun itu wajar karena perkuliahan belum dimulai.
Pagi sudah memaksaku untuk beranjak dari tempat tidur. Aku berangkat ke kampus untuk memulai perkulaiahan.
Sesampainya di kampus ternyata sudah ada empat sosok mahasiswa yang menghuni kelas G. Mereka semuanya laki-laki. Empat mahasiswa itu datang telalu pagi, entah karena mereka rajin atau juga karena mereka tidak memiliki jadwal mata kuliah jadi tidak tau masuk kuliah jam berapa.
Seperti halnya sebuah lingkungan yang di huni oleh manusia, pasti ada segerombolan manusia di lingkungan tersebut yang ingin menguasai lingkungannya. Begitu pula di kelas G. Ku lihat empat orang itu, muka mereka terlihat bringas, tatapannya seperti mengisyaratkan sebentar lagi empat sekawan itu akan membuat Cirebon gempa bumi bercampur dengan tsunami. Dan mereka bernama Hanafi, Hermanto, Alan dan Rovi.
Deskripsi kesangaran penampakan fisik empat sekawan:
Hanafi        : Berbadan setangah tinggi, putih, matanya selalu melotot, latah, giginya di kasih kawat yang menandakan giginya buas yang selalu menggigit apa pun yang dia lihat.
Hermanto : Berbadan kekar, sawo matang dan rambutnya keritng yang menandakan dia selalu dijambak ketika berkelahi.
Alan           : Kurus dan berbadan pendek, rambutnya dibelah pinggir dengan gaya catokannya yang menandakan dia selalu bermain dengan anak-anak alay yang bisa saja tiba-tiba dia menyerangku dengan jogetan gaya anak alay itu.
Rovi           : Pendek, berbadan kurus, putih, kalau nonton film Radit&Jani sampai nangis yang menandakan kalau berkelahi lebih suka menontonnya dan jika ada yang kalah dia akan berkata ‘Tidaaaaaaaaaakk’ di bawah rintik hujan (Sinetron abis).
“Hey” sapaku kepada mereka.
Mereka tak peduli dengan sapaku. Lalu aku mencari tempat duduk. Ku duduk di samping mereka. Aku diam dan mendunduk, bukan karena takut sama mereka tapi aku mencari pulpen yang terjatuh saat aku duduk.
Mereka mendekati. Matanya tertuju padaku. Aku diam.
Masih diam.
Aku menundukan kepalaku. Dan tetap diam.
“Hey” ucap salah satu dari mereka.
“Iya”
“Sekarang mata kuliah apa?”
“Fonologi dan linguistik umum”
“Jam berapa masuknya ?”
“ Jam 09.15”
“Kampret !!!”
Mampus, dia bilang kampret di depanku. Jangan-jangan mereka akan ngobrol di depanku kemudian salah satu dari mereka tiba-tiba muncul dari belakang dan memukulku dengan benda tumpul (baca: Spidol). Tuhan terimalah nasibku.
“Kee-enapa ?”
“Gue datang kepagian, jam 7 gue udah di kampus.”
“Oh”
Lega. Legaa. Legaaaaaa.
Satu demi satu penghuni kelas G mulai berdatangan masuk ke dalam kelas. Aku mulai bersemangat untuk belajar dan lebih jelasnya, belajar untuk mengenal teman-teman baru.
Permasalahan mulai datang ketika semua anak-anak kelas G sudah masuk sekarang tinggal menunggu dosennya. Dosen ? kata dosen bagiku terdengar labih horor dibandingan dengan kata guru. Kata dosen di pikiranku adalah orang tinggi besar, gemuk, kepalanya beruban, pake kacamata dan jika ada mahasiswa yang yang salah langsung memarahinya dengan suara yang berat sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arah wajah tersangka pelaku kesalahan.
“Dosennya mana ?” ucap anak-anak yang mengemuruh kehilangan sosok dosen yang tak kunjung datang.
“Iya mana ?” sambutku biar terlihat niat banget belajar.
Dalam hati berkata yess hari ini, pertama kalinya kuliah dan dosennya gak ada.
Suasana kelas jadi tidak terkontrol. Ada yang ngobrol dengan teman-teman barunya, ada yang diam saja, ada yang mondar-mandir cengengesan dan dia yang cengengesan itu adalah...Aku.
Dalam suasana kelas yang tidak karuan ada dua cewek menghampiriku. Berkerudung, putih, tinggi, rambutnya lurus (enggak, kan berkerudung). Mereka makin mendekati. “dia pasti ingin berkenalan dengan paras wajah miliku yang tidak harmonis ini”. Dan dia kini duduk di sampingku. “Yess!”.
“Hey” Sapanya disertai dengan hembusan angin yang membelah kegersangan.
“Yaaa” Jawabku sambil memberikan senyuman manis semanis madu.
“Namanya siapa ?”
 “Derif Rys Gumilar tapi panggil aja saya Derif”
Yess dia menayakan namaku pasti dia ingin berkenalan lebih jauh lagi denganku.
“Nama ka....” pertanyaanku dipotong oleh mereka yang langsung menyuruh saya.
“Orang yang udah saya kenal kan cuma kamu jadi tolong panggilin dosennya dong soalnya saya belum kenal sama temen-temen cowok yang lainnya.”
Oh petir sambarlah aku.
“O..ke” jawabku sambil menarik napas kepedean yang telah keluar.
Aku mencari dosen mata kuliah Fonologi itu. Yang jadi masalah, aku tidak tau seperti apa rupa dosennya, jangankan orangnya nama dosennya saja aku tidak tau tapi aku tetap mencari demi mahasiswa kelas G, seolah-olah disini saya berperan sebagai superhero yang akan menyelamatkan seluruh mahasiswa penghuni kelas G dengan nama superheronya Perjuanganman karena kampusnya bertempat di jalan perjuangan.
Untuk mencari dosen di ruang prodi, Aku menuruni tangga sambil celingukan.
Naik lagi.
Turun lagi.
Naik lagi.
Turun lagi (dan tetep sambil celingukan).
Naik lagi. Dan capek juga.
Akhirnya aku bilang ke seluruh mahasiswa kelas G dengan bijak “Gak ada dosennya”. Cewek yang tadi menyuruhku mencari dosen bertanya, “emang kamu tau gak dosennya yang mana ?” dengan polos ku jawab “Gak tau”. “WAAH KAMPRET !!!” seru dia.
Dalam suasana yang tidak terkontrol itu gara-gara tidak ada dosen (dosen tidak aku  temukan), kelas jadi kayak kandang ayam. Kandang ayam yang ber-AC.
Kelas semakin ribut, aku hanya melihat teman-teman yang baru aku kenal ini. Tanpa kata. Ku perhatikan tingkah mereka. Semua terlihat sangat antusias akan kuliah dan teman-teman baru di kelas G ini. Aku masih diam. Dalam hati aku bertanya “Apakah benar ini kelas yang akan menuntunku, apakah aku akan sesenang mereka sampai empat tahun kedepan ?”.
Empat sekawan itu membangunkanku dalam lamunan.
“Udah biar kita aja yang cari dosennya.”
“Haah”
Sesaat aku terkejut.
Mereka mencari dosen ke ruang prodi.
Tak lama kemudian mereka masuk ke kelas lagi dan mereka berkata “Bentar lagi dosennya masuk”.
Ingatanku kembali ke beberapa jam yang lalu ketika aku baru melihat mereka di dalam kelas dan aku yang menyangka mereka bakal jadi preman di kelas. Tanpa pikir panjang aku menghampiri mereka dan mulai ngobrol dengan mereka.
Setelah ngobrol-ngobrol dengan mereka, ternyata mereka orangnya cukup asik, cukup pintar dalam memecahkan sesuatu terlebih memecahkan kaca. Mereka juga pandai bergaul, rajin menabung. Mereka sangat rajin menabung, biasanya mereka tabungkan uangnya di kantin. Ya kantin.
Sebenarnya mereka baik cuma mungkin dengan penampilan seperti itu mereka terlihat seperti layaknya preman dalam sebuah lingkungan yang mencoba ingin menguasai lingkungannya.
Terkadang kita melihat orang dari penampilannya saja tetapi kita tidak melihat orang tersebut dari sisi yang lain. Mungkin hati. Ya hatinya belum tentu sama dengan penampilannya, seperti apa yang aku lihat dari empat orang itu. Aku sudah salah menilai mereka. Ku kira mereka tipikal orang yang salah dalam bergaul dan mungkin saja mereka juga akan menjerumuskan setiap insan baik seperti aku (baik kalau kalau ada maunya). Ternyata aku salah menilai. Dan dari penilaianku terhadap mereka (yang ternyata salah menilai) mungkin saja ada juga yang menilaiku yang juga dari penampilan luarnya saja. Pertanyaannya, apakah itu fungsinya mata serta logika yang hanya menilai dari penampilan luarnya saja ?



Karya Derif Rys Gumilar

Follow Twitter  @Gumilar_
Facebook : eriefgilaraquino@rocketmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar