Ditengah
keindahan malam yang berselimut bintang. Devi duduk seperti tak beryawa,
senyumnya yang dulu ceria kini jadi air mata. Dengan rasa tidak karuan ia mencoba mencari ketenangan di kamar depan
rumahnya. Matanya yang bening bagaikan embun pagi yang tak tersentuh oleh
manusia kini sering memuntahkan cairan perasaan yang bersumber dari hatinya
jika ia ingat dengan sosok pangeran berkuda putih yang tak bisa ia miliki.
Dalam wajahnya tampak kekecewaan yang mendalam, seseringkali nafasnya tertahan
karena warna yang dulu ia kenali kini telah pergi.
Disamping
kursi yang ia duduki terdapat beberapa kenangan Devi dari kekasihnya yaitu
Umar. Surat, cincin, bunga mawar dan
boneka beruang yang berwarna coklat dari Umar akan ia hilangkan dari
ingatannya. Sesering kali ia tersenyum namun bukan gembira melainkan senyum
kehancuran jika ia melihat kenangan - kenangan itu. Air matanya pun langsung
berlinang membanjiri wajah cantik yang ia miliki.
Ia
duduk ditemani rasa hancur sambil memeluk gitar yang setia menemaninya.
Pandangan matanya lurus ke teras rumah yang sedang terkena rintik hujan. Suara
cicak dan katak pun seolah menemani alunan petikan gitar yang ia mainkan.
Devi
menggelengkan kepala. Kekecewaan yang ia rasa menjadikan ia ngobrol dengan
dirinya sendiri di depan cermin.
‘’Aku
tuh bodoh. Kenapa aku masih berharap ia kembali. Aku salah bermimpi, mimpiku
terlalu tinggi untuk ku gapai sehingga ketika ku jatuh rasa itu menusuk sampai
ke jantung hati ini’’. Ucap Devi.
Ia
langsung duduk di kursi yang berwarna merah muda seperti hatinya saat ia
pertama kenal dengan Umar. Namun, kini warna itu menjadi pucat seperti hilang
jiwanya. Dalam hatinya ia ingin melupakan. Namun semakin ia melupakan semakin
ia terbayangkan sosok itu.
Setelah
itu ia mencoba menulis sesuatu di kertas yang ada di sampingnya, ia mencoba
menuliskan kata-kata yang sedang ia rasakan berharap bisa sedikit mengobati
kehancuran itu. Tulisannya seperti ini.
‘’Andai engkau selalu
disisi mungkin aku takan pernah meraskan sepi. Andai kini aku bisa memelukmu
mungkin luka ini sedikit terobati. Namun, andai saja awal itu aku aku pernah
mengenalmu mungkin aku takan seperti ini, meski aku tak menyesal untuk
mencintaimu’’.
Namun
kata-kata yang ia rangkai sendiri itu malah membuat ia ingat dengan Umar,
sehingga keluarlah air matanya. Tangan yang putih dan halus selalu mengusap
tetes demi tetes air mata yang jatuh di pipinya.
Sebenarnya
masih banyak yang lebih dari Umar. Namun, Devi tak bisa melupakannya. Seribu
jalan telah ia lalui hanya untuk melepaskan bayangan Umar. Namun, bukannya
terlupakan tapi banyangan umar malah semakin menghantuinya. Rambutnya yang
hitam dan panjang sering ia remas dan menjadi acak-acakan. Tangan yang indah
itu selalu memegang kepalanya. Ia merasa terbebani.
Malam
semakin larut dan satu bintang telah menciut sinarnya. Devi mencoba bangun dari
kursi yang ia duduki, dan ia mencoba melepaskan kegalauan yang dirasa. Dengan
langkah gontai tak terarah ia mencoba mendekai cermin tempat ia berbagi kisah
dengan dirinya sendiri. Tubuh yang seksi beserta kulit yang puih dan rambut
yang panjang yang ia miliki langsung berdiri di depan cermin. Ia mengusap air
matanya dan tersenyum. Ia pun berbicara kepada cermin itu.
“Apakah
kau akan selalu seperiti Bintang ? atau Bulan ? yang hanya mampu ku pandangi
dan tak bisa ku miliki. Atau kau terlalu tinggi untukku ? sehingga aku tak bisa
menggapainya.’’
Tidak
lama kemudian tangan yang halus itu mengobrak-abrik cosmetic-cosmetic yang ada
tepat di bawah cermin.ia melempar-lemparkan cosmetic yang selalu setia menemani
wajahnya. Lipstick, pelembab, parfum dan sebagainya berterbangan dan mendarat
dilantai kamar yang berkramik puih menjadi acak-acakan.
Sementara
itu diluar rintik hujan belum juga reda, malam semakin sunyi, udara semakin
dingin. Namun, Devi membuka jendela kamarnya dan langsung melempar
kenangan-kenangan saat ia masih dengan Umar. Dengan rasa tak karuan dan ia pun
mulai lelah, ia naik ke atas kasur yang berbantalkan dua dan berselimut putih.
Ia mencoba memejamkan kedua matanya. Namun, itu sia-sia, keinginan untuk
memejamkan mata tak ia dapatkan, ia pun langsung bangun mendekati cermin lagi.
Ia menatap matanya yang bengkak akibat kebanyakan air mata yang keluar. Keadaan
pun menjadi hening dan jam dinding mengarah pada pukul 01.30. Ia pun langsung
mengambil kertas kosong berwarna putih dan pulpen yang bertinta hitam. Ia sadar
tidak ada gunanya ia menangisi keadaan ini. Ia langsung menulis sebuah kalimat
yang sedang ia rasakan dan ia berharap Umar kan mengethuinya.
‘’Umar,
mungkin pedih ini hanya aku yang rasa. Namun, ku berharap kau kan
mendengarkannya. Mungkin Tuhn datangkan engkau untuk ku, hanya untuk membuat
aku mengerti apa yang namanya cinta sejati.Yaitu, cinta yang tak mengenal
pamrih dan tak harus memiliki.
Andai saja ada sedikit
waktu untuku sebelum aku mati, ingin sekali aku melihat senyum mu tuk terakhir
kali.’’
Setelah
itu ia terbaring di lantai yang dingin Karena udara malam. Dan ketika ia sadar
ia tak mengetahui kalau sekarang sudah pukul 06.00 pagi. Dan tanpa
disadari ketika ia mengambil hand phon
ada pesan masuk dari Umar. Seperti ini.
‘’Hidup berawal dari
mimpi. Sekarang adalah kenyataan bukan mimpi, namun mimpimu pun suatu saat akan
jadi kenyataan asal kita mau berusaha. Ingat jangan sia-siakan waktumu dengan
hal-hal yang tak tentu.’’
Devi
pun tersenyum lega setelah membaca pesan dari Umar itu. Ia pun membuka hari
baru dengan senyuman yang baru.
Follow Twitter @Gumilar_
Facebook : eriefgilaraquino@rocketmail.com
Karya Derif Rys Gumilar
Facebook : eriefgilaraquino@rocketmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar