“Sebenarnya kamu
yang terlalu dingin atau aku yang
terlalu ingin ?”.
Lama sudah aku tak mendengar kabarmu Dwi, mungkin karena
kita sama-sama sibuk atau kita yang enggan untuk saling menyapa. Tapi aku
tidak, aku ingin selalu menyapamu hanya saja aku khawatir mengganggu waktumu.
Disini, aku haus akan segala tentangmu. Kadang aku ingin selalu ikut campur
dengan apa yang kau rasakan, misal kau sedang lelah, sedih, senang, mungkin
juga kau sedang tak bisa tidur. Kadang aku ingin berada diantara itu. Menjadi
teman ceritamu dalam segala hal apa pun. Maaf ini bukan berlebihan, ini hanya ingin
kau tau bahwa disetiap waktuku, ku sempatkan untukmu karena kau selalu hadir
dalam segala waktuku.
Ini tentangmu Dwi, yang ada namun tiada. Ada adalah
sebuah kata yang menunjukan sebuah kehadiran, yang bisa terlihat. Seperti kau
yang masih bisa aku lihat namun tak bisa aku genggam. Jarak dan waktu. Ya jarak
dan waktu yang mungkin bisa menjadi alasan membuat membuat aku hanya bisa melihatmu
dari jauh, yang hanya bisa aku sapa lewat doa.
Sejujurnya ada sedih sedikit yang datang bersamaan dengan
gembira. Ku lihat kau dari balik bingkai foto yang kau upload ke instagram
milikmu. Kau masih tetap penuh keteduhan yang tergambar jelas dari wajahmu,
ketulusan senyummu yang masih tetap mempesona yang meluluhkanku meski tanpa
suara. Gigi gingsulmu yang tumbuh ke dalam sunguh masih jelas aku lihat di
pelupuk mata. Ternyata kau pandai memilih warna hijab yang biasa kau kenakan.
Dengan warna yang tidak mencolok, warna biru muda, merah muda dan warna hitam
misalnya. Kau begiu natural yang sangat cocok dipadukan dengan senyummu itu.
Senyuman karya Tuhan yang begitu nyata. Namun, sayangnya kau begitu dingin
dalam menganggapku ada. Aku yang selalu haus akan tentangmu itu. Aku yang
selalu melihat notifikasi whats app yang aku harap itu darimu. Namun nyatanya,
bukan. Notifikasi itu bukan darimu. Lucukan Dwi jika kau jadi aku. Tapi tak
mengapa, ini adalah keindahan dalam mencintai dalam diam.
Oh iya Dwi, ini cerita tentntangmu yang ke empat ya ? dan
lagi-lagi aku menyampaikannya terlambat karena semua yang sudah aku tulis
mendadak hilang filenya. Cerita ini sengaja aku tulis lagi yang isinya tidak
sama persis dengan cerita yang hilang itu. Tapi secara garis besar sama; Antara
Ada dan Tiada. Seperti judul lagu miliknya Utopia bukan ? iya seperti kita
juga.
Dwi bagamana kuliahmu ? lancarkah ?
Katamu sebentar lagi kau akan disibukan dengan program
kerja lapangan. Kalau menurutku kurang cocok jika kau menggunakan kata sibuk
dalam program kerja lapangan, karena program kerja lapangan sebenarnya tidak
sesibuk yang kau pikirkan. Program kerja lapangan adalah waktu santai saat di
semester akhir. Disana nanti kau hanya dikenalkan saja dengan dunia kerja bukan
untuk bekerja. Tapi apa pun itu, aku akan selalu memberikan semangat untukmu
dan yang pasti akan selalu mendukungmu.
Tapat di pertengahan bulan Oktober, aku merasa sangat
kehilanganmu Dwi karena kita sudah sangat jauh dari segala harapan yang selalu
aku harapkan bersamamu. Apa kau merasakan kehilangan juga ? tentu tidak. Rasa
kehilangan hanya akan ada bagi mereka yang pernah merasa memilikinya. Aku
memang secara jiwa belum bisa memilikimu. Namun, aku merasa sangat memilikimu
secara ruh. Itulah mengapa aku merasa kehilanganmu. Maka berbahagialah kau Dwi
yang belum bahkan tidak pernah merasa memilikiku karena dengan seperti itu kau
tak akan pernah merasa kehilanganku.
Di pertengahan bulan Oktober juga, aku mengenangmu lewat
jejak-jejakmu yang kau tinggalkan dipelataran ingatan. Ada senyum dan tawamu
yang selalu membuatku tersenyum pilu. Memang benar kegiatan mengenang adalah
kegiatan yang sangat memilukan. Menyayat perasaan terlebih kau tak bisa ku
miliki. Sikapmu yang terlalu dingin atau aku yang terlalu ingin memilikimu.
Mungkin Tuhan pun sudah bosan mendengar namamu yang selalu aku ucapkan dalam
dalam doa. Itulah mengapa sikapmu dingin, lebih dingin dari sepertiga malam.
Ahhh sudahlah semakin aku menceritakan, semakin aku
terjebak dalam nostalgia dalam mengenangmu. Lebih baik bagaimana jika kita
rencanakan waktu untuk meneguk kopi bersama, sambil merancang waktu buat kita
kedepannya. Nanti jangan lupa habiskan kopinya, lebih nikmat lagi jika scangkir
kopi itu kita buat berdua, aku pahitnya dan kau manisnya.
Kau tau tidak Dwi tentang harapanku ?
Harapanku, cukup kau masih belum melupakan aku. Meski kita
jauh jika di lihat dari segi jarak sungguh di hati ini kau masih tetap
bersemayam. Kau kira ini hanya sekedar tulisan belaka ? Tidak Dwi. Tidak. Ini adalah
perasaanku padamu yang tak mampu aku utarakan langsung, maka aku putuskan untuk
menulis tentangmu yang disertai dengan perasaanku. Sebelumnya, sebelum aku
mengenalmu. Hati dan perasaanku telah mati. Aku sudah tak punya rasa kaget, rasa
senang, rasa benci, rasa suka dan duka. Sudah
tak ku rasakan apa-apa lagi. Datar, itu perasaanku dulu. Namun saat aku
mengenalmu, aku seperti hidup kembali. Aku mulai tertarik untuk menulis cerita
lagi. Cerita tentangmu yang seolah-olah kau dekat karena dalam kisah nyata, kau
begitu jauh untuk ku rengkuh. Sama seperti saat aku menulis ini, aku merasa kau
ada di sampingku, menemaniku menulis, dengan senyumanmu yang tulus itu. Dan sungguh
aku ingin memilikimu dengan utuh Dwi.
Jadi,
Dwi, maksudku, harapanku, permohonanku, janganlah kau baca tulisan-tulisanku
tentangmu itu dengan menganggap bahwa ini hanya tulsan biasa. Tulisan tentangmu
itu lebih dari biasa Dwi. Ada perasaan yang aku titipkan dalam tulisan semoga
kau membacanya pun dengan perasaan hingga akhirnya kau tau apa isi hatiku. Atau
setidaknya kau mengerti bahwa aku sungguh mencintaimu.
Oh
iya, ternyata saat kau masih SMA, kau salah satu penggemar Justin Bieber. Penyanyi
asal Kanada itu sering kau upload fotonya di akun facebookmu. Entah kau bisa
menyukainya dari segi apanya. Mungkin dari suaranya atau pun dari wajahnya. Sudahlah,
yang pasti kau menyukainya.
Dwi,
biasanya saat aku menulis tentangmu ini, aku menulisnya di halaman rumah,
sesekali aku berjalan kaki saat mulai suntuk sambil membayangkan dirimu. Walau pun
entah kau masih mengingatku atau malah lupa dengan aku. Kadang aku ingin
menceritakan tentangmu ini secara langsung bukan lewat tulisan. Namun,
sepertinya aku masih belum mampu Dwi. Aku yakin, lidahku mendadak kelu. Jadi biarkan
tentangmu aku ceritakan lewat tulisan sampai nanti pada akhirnya aku mampu
menceritakannya di depanmu dengan lisan dan sekalian aku katakan bahwa aku
mencintaimu. AKU. MENCINTAIMU.
Rutinitasku
setiap hari selain merindukanmu, aku pergi ke sekolah untuk mengajar. Kau tau,
Dwi ? jarak yang ku tempuh ke sekolah kurang lebih memakan perjalanan hingga 1
jam lamanya. Jalannya pun rusak, berlubang. Persis seperti menuju hatimu Dwi,
jalan menuju hatimu penuh dengan rintangan yang harus aku lewati. Meyakinkanmu.
Ya itulah rintangannya, walau pun lebih cocoknya jika meyakinkanmu itu bukan
sebuah rintangan melainkan tanggung jawabku agar kau yakin kepadaku.
Aku
sangat ingin menggengammu, padahal beriringan saja belum. Aku sangat ingin
mendekapmu, padahal bertatap saja sukar. Lucu ya menjadi aku, Dwi. Ternyata benar,
Dwi, yang membuat hati terkoyak itu ketika aku memutuskan mendambamu yang bukan
siapa-siapa di hatimu. Bahkan saat aku sangat merindukanmu pun tak mampu aku
sampaikan. Aku lebih memilih untuk diam karena memang, ternyata tau diri
itu terkadang juga perlu.
Dwi,
sebelum aku akhiri tulisan ini coba kau pikirkan lagi. Apakah kau yakin, apa
yang aku tulis ini hanya sebuah rangkaian kata-kata belaka ? apa tidak
terpikirkan olehmu bahwa ini adalah sisa doa yang mungkin tuhan sudah bosan
mendengar namamu melulu yang aku sebut. Namamu, Dwi. Semoga tuhan mengabulkan
doa-doaku.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar