“Bila sudah senggang waktumu,
tengoklah kotak pesanmu. Ada harap menanti dari rasa yang sulit ikhlas bila tak
kau balas”
Dwi
apa kabar ?
Sudah
sering aku bertanya tentang kabarmu dihampir setiap surat yang aku kirimkan
kepadamu. Namun, tak juga kau balas. Tak apa, mungkin itu karena kau sedang
sibuk saja. Tak masalah. Bagiku pertanyaan kabar adalah bentuk dari perhatian
kecil yang aku berikan kepadamu yang setelah itu ada doa yang selalu aku
panjatkan untuk kebaikanmu. Doa terselip diantara menanti sapamu dan keheningan
yang aku sendiri membiarkan diriku dingin.
Dingin
? persis seperti sikapmu ynag kau berikan kepadaku. Namun saat aku mengingatmu,
ada kehangatan yang terpancar dari balik senyummu. Aduuuh ngomong-ngomong
tentang senyummu, aku jadi rindu dengan senyumanmu itu. Entah sudah berapa
pekan aku tak melihat senyummu itu lagi. Nanti jika kau ada waktu senggang,
beri aku waktu untuk bertemu denganmu Dwi. Aku inggin melihat senyumu (lagi).
Bahagiakah
kau disana Dwi ? jika kau bahagia ceritakanlah kebahagiaanmu. Namun jika kau
tidak bahagia berikanlah kedukaan itu separuhnya untuk aku agar aku bisa
menanggung dukamu bersama. Bukankah bahagia bisa tercipta dari
kumpulan-kumpulan duka yang teramat dalam lalu dibangun bersama hingga hilang semua
pilu yang ada ?. meski pun bahagia bukan sepenuhnya diciptakan. Bahagia
memiliki ruang tersendiri, kita tinggal menemukannya saja dimana letaknya.
Berbeda dengan cinta. Cinta yang sempurna bisa didik dan dipelajari bersama.
Sama seperti aku padamu yang ingin bersama membuat cinta yang sempurna
bersamamu aku ingin melewati bersama.
Aku
sendiri tak tau, ini cinta atau hanya pengagum belaka. Apa pun itu, denganmu,
aku ingin selalu. Tak peduli bagaimana pun kau Dwi.
Kadang
aku heran dengan orang-orang yang menuntut sebuah perasaan. Katanya “Jika
mencintai yaa harus ada pengakuan dari yang dicintainya”. Tuntutan macam apa
yang seperti itu. Bagiku itu tidak penting. Dalam hal mencintai yang terpenting
itu adalah output yang kita berikan
kepada dia yang dicintai bukan malah menuntut inputnya. Kadang lucu juga hanya satu kata ‘Cinta’ namun memiliki
persepsi yang berbeda-bedan di tiap-tiap jiwa.
Aku
jadi ingat obrolan ketika aku bertemu dengan temanku Dwi. Saat itu aku lagi
main di area kamus belum lama ini. Dia ngobrol masalah dengan pacarnya. Lalu
dia malah bertanya “Kamu sekarang sama siapa ?” belum sempat aku jawab, dia
malah bertanya lagi “Cerita yang di blog, yang namanya Dwi itu siapa ?”.
Lalu
aku jawab dengan sejujurnya, maklum dia teman aku kuliah dari semester pertama
sampai sekarang. Dia bertanya lagi dan terus bertanya mengenaimu Dwi. Sampai
akhirnya aku jawab “Tidak penting bagaimana kau dimata dia, tidak penting
bagaimana keadaanku dan perasaanku, yang terpenting buatku dia bahagia karena
aku mencitainya maka aku akan mencoba membuat dia bahagia semampuku”.
“Kalau
bahagianya bukan dengan kamu gimana ?”. Tanyanya.
“Tidak
masalah. Mungkin bukan aku bahagia dia tapi setidaknya aku sudah mencoba
membuatnya bahagia. Kalau pun itu terjadi, aku akan tetap berterima kasih
kepada Tuhan”.
“Kenapa ?”
“Terima
kasih bahwa Tuhan sudah mengenalkan aku dengan sosok perempuan yang bernama
Dwi. Terima kasih sudah memberikan waktu yang singkat untuk mencoba membuat dia
bahagia. Dan ini yang paling penting, terima kasih karena dariya aku bisa
melihat senyuman yang sangat tulus, yang hanya dimiliki oleh dia”.
“Aneh.”
Jawabnya singkat.
Mungin
beberapa orang juga akan menganggap diriku aneh, bahwa cara mencintai itu pakai
logika. Aku sangat tidak setuju. Bagaimana mungkin orang yang sedang jatuh
cinta akan memiliki logika. Orang yang jatuh cinta itu adalah orang yang sudah
hilang akalnya, sudah tak memiliki logika. Dia hanya berpikiran “bagaimana
caranya membuat orang yang dicintainya bisa bahagia” hanya itu dipikirannya.
Masih bisa disebut manusia normalkah ? Tidak ! itu sudah tidak normal karena
normal adalah kata lain dari tak bernyawa sedangkan orang yang sedang jatuh
cinta selalu memiliki nyawa.
Aku
jadi ingat, dulu aku melihat seorang laki-laki sedang menunggu pacarnya
disebuah halte di Jakarta. Maklum saat itu cuaca sedang hujan maka dia berteduh
sambil menunggunya. Dia menunggu dengan sabar, sesekali dia melihat jam yang
menempel ditangannya. Cukup lama, keudian pacarnya datang. Lelaki itu setengah
pakaian sudah basah akibat percikan air hujan yang jatuh ke jalan. Lalu lelaki
itu tersenyum. Saat itu aku berpikir “kasihan lelaki itu lama sekali menunggu
pacarnya sampai bajunya basah kena hujan”
tapi sekarang aku baru sadar. Ternyata rasa kasihan itu hanya dimiliki oleh
yang melihat sedangkan dia yang menjalankannya merasa bahagia. Aku jadi merasa
aneh kepada mereka yang berkata aneh pada diriku.
Aduh lupa Dwi, kok aku
malah asik menceritakan diriku sendiri.
Disana
sudah mulai musim hujan Dwi ?
Andai
saja kau mengunjungi kampung halamanku untuk melakukan tugas kuliah saat musinm
hujan, mungkin kau tak kesusahan untuk mencari air sekedar untuk mandi dan
mencuci baju saja. Ah sudahlah lagian mana mungkin kau masih mau main ke
kampung halamanku lagi.
Hampir
setiap sore disini selalu turun hujan. Adikku yang paling kecil dia bernama
Indy. Dia sangat senang bermain air hujan, sambil lari kesana kemari dia
berlari dengan teman-temannya. Aku melihatnya dari balik jendela kamar. Kadang Indy
memanggil-manggil agar aku keluar. Kadang juga Indy “Bertanya hujan itu apa ?”.
Aku jawab “Hujan itu adalah tetesan air mata seorang perempuan yang bernama
Dwi. Itu adalah kesedihan yang mendalam karena dipatahkan hatinya oleh orang
yang dia cintai. Naah saat Indy hujan-hujanan sambil lari-lari berarti Indy
sedang bersenang-senang diatas kesedihan Dwi”. Dan sekarang adikku tak pernah
hujan-hujanan lagi, katanya dia tak tega kepada Dwi. Sungguh ini alasan yang
paling absurd yang pernah aku berikan ke adiku agar berhenti bermain air hujan.
Dwi
tak akan lama lagi aku akan mengabarimu bahwa aku ingin bertemu denganmu.
Semoga kau mau dan waktu pun mengijinkannya.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar