
Serpihan
itu masih belum rapih juga Dwi. Luka yang teramat dalam membuat aku enggan
untuk berlalu. Hingga aku mengenalmu di suatu sore saat itu. Aku merasa kembali
percaya bahwa bahagia itu ada meski aku tak begitu dalam mengenalmu.
Senyummu
itu yang membuatku bangkit, dari senyumu juga aku tak henti-hentinya menulis
tentangmu. Aku merasa begitu dekat denganmu setiap hari, apakah kau juga
merasakan sama seperti yang aku rasakan ? Ah
aku tak peduli apa yang kau rasa, yang pasti aku selalu bahagia saat mengingatmu.
Beberapa
hari yang lalu kau mengupload foto dengan temanmu, sepertinya di acara
pernikahan atau sejenisnya. Aku tak henti-hentinya melihat foto itu. Jelas kau
sangat anggun Dwi, dengan baju hitam berbalut garis putih disertai dengaan
kerudung berwarna pink yang kau kenakan menambah keindahan wajahmu sebagai
karya Tuhan yang tak mampu digambarkan oleh apa pun. Sungguh aku telah takluk
di hadapanmu Dwi.
Dwi,
kadang aku sering mengeluh kepada Tuhan, mengapa Tuhan menganugerahkan cinta
yang tak mungkin untuk bersatu, aku yakin Tuhan mendengarkan doaku yang selalu
aku panjatkan setiap malam, yaitu namamu yang selalu aku sebut. Namun, Dia tak
pernah peduli seolah tak pernah mendengarkan doaku. Aku hanya ingin bahagia
bersamamu Dwi sebagai apa pun itu.
Lihat
aku Dwi. Aku ada di dunia ini bukan seperti angin yang hilang dan berlalu
begitu saja. Aku disini, diam di tempat berharap kau datang menemuiku karena
aku tak mampu menemuimu. Waktumu yang selalu menjadi batas membuat aku sulit
menjumpaimu. Sedangkan waktuku, aku berikan sepenuhnya untukmu bahkan
menunggumu yang tak tau sampai kapan, aku rela.
Dwi
bagaimana kabarmu kini ?
Sehatkah
?
Bagaimana
dengan persaanmu ? sudah menemukan tambatan
hati ? jika belum ijinkan aku menjadi penghuni hatimu atau ijinkan aku
mencari dimana letak kunci hatimu agar aku bisa masuk mengetuk relung hatimu.
Jangan diam saja, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu Dwi dalam suka mau pun
duka, tak terbatas waktu. Aku ingin selamanya bersamamu. Ini bukan hanya
untaian kata belaka. Ini adalah kejujuran yang tak mampu aku utarakan karena
terlalu dalam perasaanku padamu hingga akhirnya aku tak bisa berbicara tentang
perasaan kepadamu dengan lantang. Seperti sekarang, aku mampu menulis tentangmu
namun ketika kelak jika kau ada waktu dan kita bertemu, aku tidak yakin mampu
berbicara selantang ini seperti aku menulis tentangmu ini. Aku pasti canggung,
terlebih saat aku melihat senyumanmu.
Aduuuh
senyumanmu. Lagi-lagi aku terbius oleh senyumanmu, masih membekas jelas di
pelupuk mata senyumanmu itu Dwi. Gigi gingsulmu membuat kau semakin menarik,
terlebih kebaikanmu. Jika nanti kita bertemu bolehkah aku foto bersama denganmu
Dwi ? namun dengan syarat kau harus tersenyum, senyuman tulusmu. Nanti, akan
aku bingkai dalam kenangan yang tak akan pernah aku lupakan.
Dwi,
aku tau, saat aku menjatuhkan perasaan ini padamu, aku akan patah hati, patah
hati yang disengaja tapi aku menikmatinya sebagai kesakitan yang paling indah.
Jelas kenapa aku akan patah hati karena aku tau kau tak akan membukakan hatimu
untukku. Tak masalah, karena cinta memang tak bisa dipaksakan dan aku jatuh
cinta padamu pun tak bisa aku hindari. Tiba-tiba saja rasa itu hadir. Semakin
aku membuang jauh-jauh perasaanku, bayangmu semakin menghantui di setiap jejak
langkah kakiku. Dimana pun, kapan pun, kau selalu hadir dalam ingatanku Dwi.
Oh
iya Dwi, sekarang aku lagi di bibir laut yang ada di daerah Indramayu. Sengaja
aku main ke sini, seperti biasa, aku ke sini sendirian sambil membawa laptop
yang memang dengan niatan untuk menulis surat untukmu di sini. Di sini cukup
ramai Dwi padahal hari sudah menjelang sore namun semakin banyak pengunjung
yang datang. Banyak sepasang remaja yang sedang menghabiskan waktu disini, ada
juga yang membawa keluarganya, bahkan aku sesekali tertawa melihat anak-anak
kecil yang sedang bermain bola di pinggir laut ini. Asik sekali mereka, berlari
kesana kemari, tertawa, sesekali mereka bermain air. Lucu sekali tingkah mereka
Dwi. Yaa wajar juga, kadang aku ingin memutar waktu, ingin rasanya seperti
mereka yang belum merasakan kepahitan, yang belum merasakan beban hidup. Dan
yang pasti belum merasakan patah hati.
Dwi,
sekarang aku sedang mendengarkan nyanyian laut yang dikumandangan oleh gemuruh
ombak, Dwi. Jujur aku memang baru beberapa kali main ke laut karena aku sendiri
lebih suka ke daerah dataran tinggi. Di laut terkesan cuacanya panas dan
anginnya tidak sesejuk di gunung. Namun, aku baru sadar ketika disini, bahwa
ombak tak pernah ingkar janji, bukan hanya merpati saja. Ada janji dari ombak
untuk pasir ketika dia pergi seolah ombak berkata “Tunggu aku, aku akan datang kembali”. Selalu seperti itu. Semoga
kau seperti ombak juga Dwi, setelah kepergianmu dari kampungku, semoga kau akan
datang lagi ke sini, tempat awal aku mengenalmu. Awal aku melihat senyuman
tulusmu.
Lihat
!
Dwi
lihat ! tepat di depan mataku ada sepasang remaja. Dia tertawa sembari bercanda
gurau dengan pasangannya. Sesekali mereka saling bertatapan dengan tangan yang
tak pernah dia lepaskan, sangat erat sekali mereka saling menggenggam.
Sekarang
mereka menatap ke arahku Dwi. Dengan tatapan yang seolah asing melihat aku yang
sedang duduk sendirian sambil menulis surat ini. Namun, perempuan itu
melemparkan senyuman ke arahku. Entah itu senyuman apa, namun yang bisa aku
artikan itu sebagai senyuman seperti menggunjing karena aku hanya sendiri. Apa
pun itu tereserah mereka yang sedang dimabuk asmara. Mungkin mereka belum
mengenal kau saja Dwi yang memiliki senyuman tulus, yang bisa membuat teduh
seluruh jiwa.
Dwi,
sekarang hari sudah menjelang sore, sudah saatnya aku bergegas pulang. Namun,
aku masih merindukanmu yang tak mengenal waktu. Aku berharap kau adalah rumah
tempat aku pulang setelah aku lelah bertualang. Aku ingin menghabiskan waktu
bersamamu dan aku ingin menjelajah alam bersamamu Dwi, berdua kita lalui jalan
yang akan kita hadapi nanti, jika Tuhan menghendaki, aku mengaminkan selalu.
Ah
akhirnya cuaca mendung juga Dwi, aku takut terkena hujan di tengah perjalanan
menuju rumah. Aku tak ingin Dwi. Entah kenapa hujan selalu akan menjadi cerita,
jika bersamamu aku mau terkena hujan berdua agar menjadi cerita yang tak akan
ku lupakan sehingga saat hujan turun aku akan kembali ke masa itu. Namun, ini
baru mendung, mendungyang belum tentu terjadi hujan. Seperti penantian, yang
belum tentu akan membuahkan hasil seperti yang di harapkan.
Akhirnya
hujan juga Dwi. Hal yang tadinya ingin aku hindari. Namun bagaimana lagi, aku
tak bisa menyalahkan hujan juga karena hujan adalah hanya air yang patuh kepada
Tuhan. Jika kata Tuhan air itu disuruh turun maka turunlah air itu, yang kita
sebut sebagai hujan. Oh iya, aku sekarang berada di sebuah toko retail i
pinggir jalan. Tadi aku hendak pulang, namun masih di tengah perjalanan, ujan
tiba-tiba menjadi deras akhirnya aku putuskan untuk berteduh dulu. Sambil
menunggu hujan reda, aku melanjutkan tulisan ini yang tadi terhenti.
Dengan
kopi instan berbentuk botol yang sengaja aku beli dan rokok yang hampir habis
aku bakar, aku melanjutkan menulis. Saat aku menulis, tiba-tiba kau seolah ada
disisiku Dwi, menemaniku menulis. Aku jadi tidak merasa sedang sendirian.
Lihatlah
hujan itu Dwi !!!
Hujan
melihat hari-hariku penuh dengan keceriaan saat aku menulis surat ini untukmu
Dwi walau dengan cahaya langit yang sedikit temaram akibat berbalut mendung. Namun,
hujan kerap memberikan aku pelajaran penting juga tentang hakikat hidup di
dunia ini Dwi. Hidup di dunia yang semuanya itu hanya sebuah ilusi, mulai dari
pahitnya dan getirnya hidup. Namun tetap indah untuk aku menghabiskan waktuku
untuk mengingatmu Dwi. Walah hanya sekedar mengingat, walau hanya sekedar
membayangkan. Kadang teman-temanku sering menertawakan aku yang setiap hari
menulis surat untukmu. Kata mereka aku tidak waras karena telah membuang-buang
waktu. Aduuuh mereka hanya belum mengenalmu saja Dwi. Mereka belum paham saja,
bahwa orang yang jatuh cinta itu tak ada yang waras. Mereka bilang aku
membuang-buang waktu. Mereka hanya belum paham saja bahwa aku sedang membuat
sebuat prasati kenangan denganmu yang kelak akan menjadi abadi walau hanya
dengan tulisan surat-surat ini. Surat ini akan abadi, yang bisa dibaca oleh
anak cucu ku kelak. Dan anak cucuku akan tau bahwa aku telah takluk oleh
senyuman perempuan yang bernama Dwi.
Ooohh
hujan, sampaikan salamku pada Dwi, takan bosan aku memuja dan memujinya. Samapaikan
salamku padanya jangan biasi larangan bagiku untuk tetap memuja, mencintai dan
menantinya. Walau kadang ajal akan menjemputku nanti aku tak pernah takut. Tapi
hujan jangan kau buat aku takut yang mencekam, biarkan dinginmu saja yang
menyelimuti.
Dingin
!
Hujan,
kau kalah dingin oleh sikap Dwi kepadaku. Entah apa salahku hingga Dwi kini
bersikap sedingin itu. Aku tak tau apa kesalahanku. Apa karena aku mencintaimu
Dwi hingga kau jadi dingin kepadaku. Jika pun iya, aku ingin bertanya “Apa yang salah dari orang yang sedang jatuh
cinta ?”
Dwi,
semoga diammu kepadaku bukan diam yang disengaja karena tak selamanya diam itu
emas. Buktinya bagiku, diammu bukan emas tapi nerakanya dunia yang membakar
jiwa dan hatiku.
Dwi,
aku masih sedang menikmati hujan dari balik meja yang terbuat dari besi. Masih
menikmatinya. Dan masih denganmu yang kini terasa duduk disampingku.
Salam....