Selamat Datang, Baca, Pahami dan Rasakan dari Sebuah Tulisan

Selamat Datang, Baca, Pahami, dan Renungkan Makna Indahnya Kenganan dari Sebuah Tulisan
Kenangan tidak mudah untuk dilupakan hanya hilang ingatan yang bisa mengobatinya. Sekecil apa pun kenangan akan tetap berada di pikiran.
Kado Terakhir Untukmu menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi, dilewati dan dirasakan sebagai bentuk apresiasi pada sebuah kenangan.
Tulislah apa yang kita rasakan dan rasakan apa yang kita tulis.


Sabtu, 01 Desember 2018

DWI (Malaikat Bertanduk Dua)

“Ada ketulusan yang selalu datang menyapamu setiap hari, kaunya saja yang menolak untuk melihat dan lebih memilih untuk menatap ke arah lain”.


Serpihan itu masih belum rapih juga Dwi. Luka yang teramat dalam membuat aku enggan untuk berlalu. Hingga aku mengenalmu di suatu sore saat itu. Aku merasa kembali percaya bahwa bahagia itu ada meski aku tak begitu dalam mengenalmu.
Senyummu itu yang membuatku bangkit, dari senyumu juga aku tak henti-hentinya menulis tentangmu. Aku merasa begitu dekat denganmu setiap hari, apakah kau juga merasakan sama seperti yang aku rasakan ? Ah aku tak peduli apa yang kau rasa, yang pasti aku selalu bahagia saat mengingatmu.
Beberapa hari yang lalu kau mengupload foto dengan temanmu, sepertinya di acara pernikahan atau sejenisnya. Aku tak henti-hentinya melihat foto itu. Jelas kau sangat anggun Dwi, dengan baju hitam berbalut garis putih disertai dengaan kerudung berwarna pink yang kau kenakan menambah keindahan wajahmu sebagai karya Tuhan yang tak mampu digambarkan oleh apa pun. Sungguh aku telah takluk di hadapanmu Dwi.
Dwi, kadang aku sering mengeluh kepada Tuhan, mengapa Tuhan menganugerahkan cinta yang tak mungkin untuk bersatu, aku yakin Tuhan mendengarkan doaku yang selalu aku panjatkan setiap malam, yaitu namamu yang selalu aku sebut. Namun, Dia tak pernah peduli seolah tak pernah mendengarkan doaku. Aku hanya ingin bahagia bersamamu Dwi sebagai apa pun itu.
Lihat aku Dwi. Aku ada di dunia ini bukan seperti angin yang hilang dan berlalu begitu saja. Aku disini, diam di tempat berharap kau datang menemuiku karena aku tak mampu menemuimu. Waktumu yang selalu menjadi batas membuat aku sulit menjumpaimu. Sedangkan waktuku, aku berikan sepenuhnya untukmu bahkan menunggumu yang tak tau sampai kapan, aku rela.
Dwi bagaimana kabarmu kini ?
Sehatkah ?
Bagaimana dengan persaanmu ? sudah menemukan tambatan  hati ? jika belum ijinkan aku menjadi penghuni hatimu atau ijinkan aku mencari dimana letak kunci hatimu agar aku bisa masuk mengetuk relung hatimu. Jangan diam saja, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu Dwi dalam suka mau pun duka, tak terbatas waktu. Aku ingin selamanya bersamamu. Ini bukan hanya untaian kata belaka. Ini adalah kejujuran yang tak mampu aku utarakan karena terlalu dalam perasaanku padamu hingga akhirnya aku tak bisa berbicara tentang perasaan kepadamu dengan lantang. Seperti sekarang, aku mampu menulis tentangmu namun ketika kelak jika kau ada waktu dan kita bertemu, aku tidak yakin mampu berbicara selantang ini seperti aku menulis tentangmu ini. Aku pasti canggung, terlebih saat aku melihat senyumanmu.
Aduuuh senyumanmu. Lagi-lagi aku terbius oleh senyumanmu, masih membekas jelas di pelupuk mata senyumanmu itu Dwi. Gigi gingsulmu membuat kau semakin menarik, terlebih kebaikanmu. Jika nanti kita bertemu bolehkah aku foto bersama denganmu Dwi ? namun dengan syarat kau harus tersenyum, senyuman tulusmu. Nanti, akan aku bingkai dalam kenangan yang tak akan pernah aku lupakan.
Dwi, aku tau, saat aku menjatuhkan perasaan ini padamu, aku akan patah hati, patah hati yang disengaja tapi aku menikmatinya sebagai kesakitan yang paling indah. Jelas kenapa aku akan patah hati karena aku tau kau tak akan membukakan hatimu untukku. Tak masalah, karena cinta memang tak bisa dipaksakan dan aku jatuh cinta padamu pun tak bisa aku hindari. Tiba-tiba saja rasa itu hadir. Semakin aku membuang jauh-jauh perasaanku, bayangmu semakin menghantui di setiap jejak langkah kakiku. Dimana pun, kapan pun, kau selalu hadir dalam ingatanku Dwi.
Oh iya Dwi, sekarang aku lagi di bibir laut yang ada di daerah Indramayu. Sengaja aku main ke sini, seperti biasa, aku ke sini sendirian sambil membawa laptop yang memang dengan niatan untuk menulis surat untukmu di sini. Di sini cukup ramai Dwi padahal hari sudah menjelang sore namun semakin banyak pengunjung yang datang. Banyak sepasang remaja yang sedang menghabiskan waktu disini, ada juga yang membawa keluarganya, bahkan aku sesekali tertawa melihat anak-anak kecil yang sedang bermain bola di pinggir laut ini. Asik sekali mereka, berlari kesana kemari, tertawa, sesekali mereka bermain air. Lucu sekali tingkah mereka Dwi. Yaa wajar juga, kadang aku ingin memutar waktu, ingin rasanya seperti mereka yang belum merasakan kepahitan, yang belum merasakan beban hidup. Dan yang pasti belum merasakan patah hati.
Dwi, sekarang aku sedang mendengarkan nyanyian laut yang dikumandangan oleh gemuruh ombak, Dwi. Jujur aku memang baru beberapa kali main ke laut karena aku sendiri lebih suka ke daerah dataran tinggi. Di laut terkesan cuacanya panas dan anginnya tidak sesejuk di gunung. Namun, aku baru sadar ketika disini, bahwa ombak tak pernah ingkar janji, bukan hanya merpati saja. Ada janji dari ombak untuk pasir ketika dia pergi seolah ombak berkata “Tunggu aku, aku akan datang kembali”. Selalu seperti itu. Semoga kau seperti ombak juga Dwi, setelah kepergianmu dari kampungku, semoga kau akan datang lagi ke sini, tempat awal aku mengenalmu. Awal aku melihat senyuman tulusmu.
Lihat !
Dwi lihat ! tepat di depan mataku ada sepasang remaja. Dia tertawa sembari bercanda gurau dengan pasangannya. Sesekali mereka saling bertatapan dengan tangan yang tak pernah dia lepaskan, sangat erat sekali mereka saling menggenggam.
Sekarang mereka menatap ke arahku Dwi. Dengan tatapan yang seolah asing melihat aku yang sedang duduk sendirian sambil menulis surat ini. Namun, perempuan itu melemparkan senyuman ke arahku. Entah itu senyuman apa, namun yang bisa aku artikan itu sebagai senyuman seperti menggunjing karena aku hanya sendiri. Apa pun itu tereserah mereka yang sedang dimabuk asmara. Mungkin mereka belum mengenal kau saja Dwi yang memiliki senyuman tulus, yang bisa membuat teduh seluruh jiwa.
Dwi, sekarang hari sudah menjelang sore, sudah saatnya aku bergegas pulang. Namun, aku masih merindukanmu yang tak mengenal waktu. Aku berharap kau adalah rumah tempat aku pulang setelah aku lelah bertualang. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu dan aku ingin menjelajah alam bersamamu Dwi, berdua kita lalui jalan yang akan kita hadapi nanti, jika Tuhan menghendaki, aku mengaminkan selalu.
Ah akhirnya cuaca mendung juga Dwi, aku takut terkena hujan di tengah perjalanan menuju rumah. Aku tak ingin Dwi. Entah kenapa hujan selalu akan menjadi cerita, jika bersamamu aku mau terkena hujan berdua agar menjadi cerita yang tak akan ku lupakan sehingga saat hujan turun aku akan kembali ke masa itu. Namun, ini baru mendung, mendungyang belum tentu terjadi hujan. Seperti penantian, yang belum tentu akan membuahkan hasil seperti yang di harapkan.
Akhirnya hujan juga Dwi. Hal yang tadinya ingin aku hindari. Namun bagaimana lagi, aku tak bisa menyalahkan hujan juga karena hujan adalah hanya air yang patuh kepada Tuhan. Jika kata Tuhan air itu disuruh turun maka turunlah air itu, yang kita sebut sebagai hujan. Oh iya, aku sekarang berada di sebuah toko retail i pinggir jalan. Tadi aku hendak pulang, namun masih di tengah perjalanan, ujan tiba-tiba menjadi deras akhirnya aku putuskan untuk berteduh dulu. Sambil menunggu hujan reda, aku melanjutkan tulisan ini yang tadi terhenti.
Dengan kopi instan berbentuk botol yang sengaja aku beli dan rokok yang hampir habis aku bakar, aku melanjutkan menulis. Saat aku menulis, tiba-tiba kau seolah ada disisiku Dwi, menemaniku menulis. Aku jadi tidak merasa sedang sendirian.
Lihatlah hujan itu Dwi !!!
Hujan melihat hari-hariku penuh dengan keceriaan saat aku menulis surat ini untukmu Dwi walau dengan cahaya langit yang sedikit temaram akibat berbalut mendung. Namun, hujan kerap memberikan aku pelajaran penting juga tentang hakikat hidup di dunia ini Dwi. Hidup di dunia yang semuanya itu hanya sebuah ilusi, mulai dari pahitnya dan getirnya hidup. Namun tetap indah untuk aku menghabiskan waktuku untuk mengingatmu Dwi. Walah hanya sekedar mengingat, walau hanya sekedar membayangkan. Kadang teman-temanku sering menertawakan aku yang setiap hari menulis surat untukmu. Kata mereka aku tidak waras karena telah membuang-buang waktu. Aduuuh mereka hanya belum mengenalmu saja Dwi. Mereka belum paham saja, bahwa orang yang jatuh cinta itu tak ada yang waras. Mereka bilang aku membuang-buang waktu. Mereka hanya belum paham saja bahwa aku sedang membuat sebuat prasati kenangan denganmu yang kelak akan menjadi abadi walau hanya dengan tulisan surat-surat ini. Surat ini akan abadi, yang bisa dibaca oleh anak cucu ku kelak. Dan anak cucuku akan tau bahwa aku telah takluk oleh senyuman perempuan yang bernama Dwi.
Ooohh hujan, sampaikan salamku pada Dwi, takan bosan aku memuja dan memujinya. Samapaikan salamku padanya jangan biasi larangan bagiku untuk tetap memuja, mencintai dan menantinya. Walau kadang ajal akan menjemputku nanti aku tak pernah takut. Tapi hujan jangan kau buat aku takut yang mencekam, biarkan dinginmu saja yang menyelimuti.
Dingin !
Hujan, kau kalah dingin oleh sikap Dwi kepadaku. Entah apa salahku hingga Dwi kini bersikap sedingin itu. Aku tak tau apa kesalahanku. Apa karena aku mencintaimu Dwi hingga kau jadi dingin kepadaku. Jika pun iya, aku ingin bertanya “Apa yang salah dari orang yang sedang jatuh cinta ?”
Dwi, semoga diammu kepadaku bukan diam yang disengaja karena tak selamanya diam itu emas. Buktinya bagiku, diammu bukan emas tapi nerakanya dunia yang membakar jiwa dan hatiku.
Dwi, aku masih sedang menikmati hujan dari balik meja yang terbuat dari besi. Masih menikmatinya. Dan masih denganmu yang kini terasa duduk disampingku.
Salam....

Sabtu, 24 November 2018

DWI (Penantian Rahasia)



“Senyummu seperti peluru dan jatungku rela ditebas ribuan kali demi mati di hadapanmu”.



            Sudah bebrapa malam aku tak pernah berkomunikasi denganmu lagi Dwi, entah kenapa mungkin kau yang terlalu sibuk atau aku yang khawatir  akan menggangu waktumu. Sering aku lihat kau sedang online atau pun kemarin kau membuat story di aplikasi What’s App yang memang jarang sekali kau buat. Ada keinginan untuk mengomentari storymu namun aku ragu, aku hanya khawatir akan mengganggu waktumu. Maka aku putuskan untuk sekedar melihatnya. Terus-menerus aku melihatnya, apa pun itu yang penting menyangkut dirimu, aku susah lupa.
            Penantian bisa diartikan sebagai keadaan, sedangkan rahasia bisa berarti sesuatu yang sengaja disembunyikan agar tidak diketahui orang lain. Maka kepadamu aku akan memulai pekerjaan baru; penantian rahasia. Maka dalam keadaanku kini, aku memilih sengaja menyembunyikan perasaanku kepadamu agar tak ada yang tau bahwa aku mencintaimu, aku menunggumu; menunggu semua hal tentangmu. Termasuk kabarmu. Namun, entah setelah surat ini aku kirimkan apakah penantian ini masih bisa disebut rahasia atau tidak. Yang pasti untukmu aku akan selalu terbuka, termasuk pintu hatiku.
            Selayaknya seorang pelaku dalam penantian rahasia, aku selalu mencari tau tentangmu. Mulai dari kabarmu, hobimu, dan sebagainya mengenai dirimu Dwi. Kadang aku juga selalu menghabiskan waktu dengan mengingatmu. Termasuk saat aku membuat surat ini. Aku habiskan waktu dengan mengingatmu.
            Kau tau, Dwi ? seperti biasa aku membuat surat untukmu tak akan selesai dalam satu hari saja. Biasanya aku membuatnya perbeberapa paragraf yang kemudian dilanjutkan di hari berikutnya. Nah, untuk surat yang ke enam ini, aku menulisnya di beberapa tempat. Untuk surat ini kebanyakan aku tulis di luar rumah. Dimana tiap hari aku harus membawa laptop, pulang kerja gak langsung pulang, aku keliling dulu naik motor yang aku sendiri gak tau mau kemana. Saat ada tempat yang nyaman aku brhenti untuk melanjutkan tulsan ini. Kebanyakan paragraf aku tulis di alam dan diempat ngopi, Dwi. Layaknya orang menulis, aku sendirian, kemudian menulis lalu dibaca dan kalau tidak cocok kalimatnya maka aku hapus kembali. Terus saja seperti itu. Jadi, walau pun aku sendirian setiap menulis surat untukmu, aku merasa kau ada disini Dwi. Menemaniku. Jiwamu yang jauh, namun ruhmu ada disini, kau tetap hidup dan dekat di hatiku.
            Surat yang ke lima sudah kau baca Dwi ? maaf saat aku mengirimkan surat yang ke lima, aku tak sempat mengabarimu karena yaaa tanpa aku jeaskan kau pasti tau alasannya kenapa. Oh iya lupa, aku menulis surat ini ada sebagiannya saat aku main di Kuningan, tempat kau lahir. Benar katamu “Tidak smua orang Kuningan itu jahat loh Mas”. Itu ucapmu yang kau ucapkan saat malam hari lewat telepon. Kau masih ingat ?, Kalau tidak salah saat itu aku yang menelponmu dan kau angkat padahal aku belum menyiapkan akan ngobrol apa denganmu saat itu. Namun, entah kenapa tiba-tiba kita bicara dengan santai, aku menceritakan susahnya mendapatkan air di sini. Mungkin kau pun pernah merasakannya saat kau masih tinggal disini. Lalu kau cerita tentang masa lalumu saat kau masih memiliki pasangan. Dan yang paling penting, akhirnya aku tau bahwa kau masih sendiri walau pun kau belum bisa melupakan masa lalumu. Coba kenali aku lebih dalam lagi, dan berikan aku waktu, aku yakin kau akan melupakan masa lalumu itu Dwi. Nanti aku yang selalu kau ingat. Aduuuh maaf Dwi mimpiku mungkin terlalu jauh.
            Dwi sampai saat ini, entah kenapa aku masih menulis surat kepadamu, setiap hari aku selalu tersedak oleh mengingatmu, tiba-tiba saja aku mengingatmu. Namun sulit, ketika aku ingin menolak mengingatmu. Apa pun itu, aku sedang menikmati cantikya rindu kepadamu Dwi, maka aku akan menulis surat untukmu, dan menceritakan tentangmu. Dimana dalam tulisan ini, aku tak akan pernah menemukan perpisahan denganmu.
            Dwi cobalah kau merenungi waktu. Kadang lucu juga jika kita ingat kembali betapa indahnya rencana Tuhan. Kita dulu tak saling kenal lalu tiba-tiba Tuhan mengenalkan orang yang bernama Dwi kepadaku. Apakah itu sebuah kebetulan ? menurutmu bagaimana Dwi ?. bagiku tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Semua ini atas dasar rencana Tuhan. Pertanyanyaannya mengapa Tuhan mengenalkan Kau kepadaku ? aku hanya memiliki jawaban bahwa Tuhan tak pernah salah salah. Saat itu kita sama dalam keadaan luka hatinya, hancur bahkan. Lalu Tuhan mengenalkan kau kepadaku. Inilah alasan Tuhan mengenalkan Kau kepadaku Dwi, karena kita ada dalam keadaan yang sama; luka hatinya. Maka sekali lagi, berikan aku waktu Dwi, seperti kata Joko Pinurbo dalam puisinya “Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma”. Maka berbahagialah nantinya karena kita akan mengalahkan sebuah trauma bersama. Dan tidak akan membuat trauma baru satu sama lainnya.
            Aduuh maaf Dwi jika kata-kataku dalam semua surat yang aku kirimkan kepadamu membuat kau semakin menjauhiku. Padahal aku sendiri tak tau apa kesalahanku. Apakah karena aku menyayangimu itu adalah sebuah kesalahan ?
            Cukup !!!
            Semakin lama, hanya desir rindu yang melanda. Sampai remuk menelusup relung, hingga perih mengiris hari-hari tanpa kabarmu yang aku sebut hari berkabung. Di sini cerita tentangmu akan tetap hidup dan akan tetap utuh bernaung. Aku masih ingat, saat awal kita bertemu, malam harinya kkita pergi sebuah objek pemandian air panas. Disana kau ragu untuk masuk ke air, entah kau ragu karena apa yang pasti matamu mencerminkan keraguan namun penasaran, aku tak tau apa namanya itu. Aku masih ingat, setelah pulang dari objek wisata pemandian air panas itu, kita memutuskan untuk membersihkan badan dari aroma belerang akibat kandungan air panas itu. Karena di tempat tinggalku sulit mendapatkan air bersih, maka kita memilih membersihkan diri di sumber air yang berada lumayan juga jaraknya. Tepat jam 11 malam kita baru bisa pulang. Oh iya, itu siangnya kita keliling di acara memperingati HUT RI. Jadi artinya seharian penuh kita bersama walau pun tidak dari pagi hari karena pagi hari kau ikut upacara peringatan hari kemerdekaan di Kecamatan. Dan seharian itu, aku hanya bisa memandangmu tanpa berani aku menyapamu. Senyumanmu, itu yang membuat aku susah lupa.
            Maaf Dwi aku masih mengingatmu. Setiap aku menulis, saat itu pula aku membuka kembali memori tentangmu yang mengalun setiap waktu. Untukmu Dwi, terima kasih atas lakumu yang anggun itu. Dan biarkan aku menantimu karena memilikimu, kau tak akan mau.
Salam.

Sabtu, 17 November 2018

DWI (Tak Sejalan)



 “Di lautan rindumu yang tak bertepi, aku ingin berlabuh di sana, selamanya. Semoga aku yang akan selalu kau rindukan seperti aku yang selalu merindukanmu, Dwi”.
Kau belum membalas suratku, Dwi. Sudah 2 bulan kalau tak salah.
Oke tidak masalah.
Aku lanjutkan tulisanku tentangmu Dwi yang selalu tak pernah kau balas.
Sebenarnya, aku sendiri heran mengapa selama ini aku bisa panjang lebar menulis semua hal tentangmu Dwi. Padahal dulu-dulu aku tak pernah menulis tentang seseorang yang ada di dunia nyata dalam bentuk surat pula. Aku tak punya kecerdasan yang cukup untuk menuangkan perasaan-perasaanku melalui tulisan.
Bahasa yang kau isyaratkan melalui senyuman tulusmu itu yang membangkitkan  aku untuk menulis. Tak henti-hentinya aku mengingat dirimu, aku membayangkan sosokmu menemaniku tiap aku menulis. Kau tau hampir setiap seminggu sekali aku kirimkan surat kepadamu, satu minggu satu surat. Setiap hari aku menulis surat untukmu Dwi agar surat itu mampu aku kirimkan tepat di hari minggu, artinya setiap hari aku tak henti membayangkanmu. Aku merindukanmu, maka aku  curahkan kerinduanku ini melalui tulisan. Lucu ya jadi aku, setiap hari merindukan seseorang yang dia sendiri tak pernah dirindukan oleh orang itu. Dan orang itu adalah kau, Dwi.
Dwi, kau tau ? dulu saat komunikasi kita masih berjalan lancar. Aku sering ketawa-ketawa sendiri saat membaca chat yang kau kirimkan melalui aplikasi Whats App. Pernah sesekali ibuku bertanya yang akhirnya sekarang sering menanyakan “Siapa itu Dwi ?”, “Kapan mau di bawa ke rumah ?” dan pertanyaan pertanyaan aneh lainnya.
“Kamu liat hp malah ketawa-ketawa sendiri, kenapa ?”. Tanya ibuku.
“Iya”. Jawabku singkat. Sambil mengetik pesan untuk membalas chat.
“Ditanya kenapa malah jawabnya iya”.
“Iya”. Sahutku.
“Lagi chatingan sama siapa sih ?”. Ibuku mulai penasaran.
Dan aku masih dengan jawaban “Iya”.
“Kamu suka makan beling sama paku ya ?”
“Iya”. Jawabku.
Lalu ibuku mengambil handphone yang aku pegang. Belum sempat dia baca, aku ambil lagi.
“Jangan Bu”. Ucapku.
“Yaa kamu ditanya jawabnya iya iya aja”. Jawab ibu sedikit kesal.
“Oh iya”.
Dwi asal kau tau, ibuku termasuk orang yang mudah penasaran terhadap sesuatu, maklumlah namanya juga ibu-ibu. Termasuk penasaran kenapa aku ketawa-ketawa saat membalas chat kepadamu, Dwi. Dia terus menerus bertanya, lalu dari pada aku jadi anak yang durhaka maka aku jawab dengan jujur.
“Siapa dia ?”.
“Dwi, bu hehe”. Jawabku sambil cengengesan.
Dia mengambil hp yang aku pengang dan dengan pasrah aku membiarkannya.
“Ini yang pake kerudung ?”.Tanyanya lagi.
“iya”. Jawabku singkat.
“Dia cewek ?”. Pertanyaan paling aneh yang pernah aku dengar dari seorang ibu.
“Ya iya bu, kan pake kerudung.”
“Oooohhh”. Jawabnya seolah-olah mengerti.
“Kenapa bu ?”. Tanyaku.
“Yaa gak apa-apa, berarti anak ibu masih normal”
Hening.
“Musi orang mana ?” Tanyanya.
“Dwi bu”
“Iya itu maksud ibu”.
“Orang Kuningan”. Jawabku.
Dia terus bertanya tentang dirimu Dwi. Bahkan sampai saat ini masih saja bertanya kabarmu, bertanya kapan mau diajak main ke rumah dan pertanyaan-pertanyaan aneh lainnya.
“Dwi hanya teman bu, mana mungkinlah dia mau main ke rumah, mana mungkin mau kenal dengan ibu”. Jawabku kepada ibu agar berhenti bertanya tentang dirimu Dwi.
Bukan aku tak mau membahas tentang kau, Dwi, yang aku takutkan, ibu malah salah paham.
Aduuuh kok aku malah cerita tentang obrolan aku dan ibuku. Maaf yaa Dwi.
Aku lanjutkan lagi tulisannya.
Beberapa hari yang lalu aku mengajakmu main, kebetulan aku ada waktu kosong namun aku lupa bahwa Tuhan maha sesukan-Nya. Kau tak bisa, kau sedang ada di kota kelahiranmu. Padahal aku menunggu waktu luang itu. Hari kuliah, kau sibuk dengan tugasmu. Hari kuliah libur, kau tetap tak bisa. Memang sudah tentu, kepadaku kau tak pernah punya waktu.
Bukan hanya itu saja. Entah mengapa akhir-akhir ini kita jarang komunikasi. Bukan aku tak mau berbalas sapa denganmu hanya saja tiap aku chat, aku takut mengganggu waktumu, bukan tanpa alasan, karena setiap aku chat, kau sangat lama membalasnya. Kau sudah tak seperti yang dulu lagi Dwi. Bahkan sering aku temukan, onlinemu terlihat namun chatku terlewat. Bukan hanya sekali. Dari itu, maka aku sadar diri siapa aku. Aku hanya tak mau mengganggu waktumu jika sudah aku temukan sikapmu seperti itu kepadaku Dwi.
Jika memang kehadiranku atau pun pesan dariku sangat mengganggu waktumu sehingga kau tak pernah menyisihkan waktu untuku, maka izinkan aku untuk tetap menulis cerita tentangmu dan menulis surat kepadamu. Seperti surat ini, masih tentangmu yang aku sendiri pun tak tau kau akan membacanya atau pun tidak. Tak mengapa, dengan aku menulis surat ini, aku merasa bisa dekat dengamu. Miris, memang.
Ya sangat miris. Mengingatmu adalah hal yang miris tapi mau bagaimana lagi pikiranku selalu mengingat dirimu, tak terkecuali. Kadang aku juga sedih saat mengingatmu, bagaimana dulu aku merasa dekat denganmu, selalu ada waktu untuk komunikasi bersama namun sekarang tidak. Kau yang sudah tidak punya waktu luang lagi. Setiap waktu aku ingin menyapamu, aku ingin menanyakan kabarmu tapi aku tidak berani setelah membayangkan akibatnya. Ya, akibatnya nanti kau merasa terganggu. Akibatnya kau nanti risih dengan sapaku. Akibatnya nanti aku menunggu balasan pesan yang entah berapa lama aku kau akan balasnya.
Miris. Ya miriiiiiiiissss hahaha
Aku hanya perlu kesadaran sedikit saja, bahwa bagimu ada hal yang lebih menarik dibandingkan dengan perasaanku, kehadiranku dan penantianku. Aku perlu kesadaran sedikit saja, jika ada hal yang membuatmu tenang, jika disandingkan denganku, aku tak pernah kau lihat. Benar, aku baru mersakan nasihat yang sudah lama dari ibuku, bahwa ada kalanya mimpi kita dibangunkan oleh orang lain. Termasuk ini, aku yang bermimpi bisa membahagiakanmu dengan caraku, nyatanya aku dibangunkan olehmu bahwa aku tak bisa menggapai mimpi itu. Bahkan aku tak layak menggapainya.
Benar. Kau memilih hilang namun tak pernah pergi dari ingatan dan hatiku. Dan aku memilih mencarimu, namun tak pernah aku temui dimana kamu berada. Ini perihal berat sebelah. Aku merasa kehilanganmu, sementara kau biasa saja. Aku yang memang mencintaimu, sementara kau masih terikat masa lalu. Aku yang ingin mendekapmu, sementara kau ingin melaskan diri. Ini adalah tipu daya sebuah perasaan yang sekarang aku sadar bahwa aku sedang jatuh cinta sendirian, jatuh cinta kepadamu. Singkatnya, hidupku adalah hidupmu, sementara hidupmu masih ada di masa lalu.
Dwi, lihat, aku menulis ini sambil minum kopi. Tenyata aku di hadapan kopi setara, sama pahitnya. Maka tulisan ini banyak rasa pahitnya yang aku tuangkan agar kau baca dan semoga setelah kau baca semua hal yang  aku lakukan bisa menjadi manis.
Salam.