Selamat Datang, Baca, Pahami dan Rasakan dari Sebuah Tulisan

Selamat Datang, Baca, Pahami, dan Renungkan Makna Indahnya Kenganan dari Sebuah Tulisan
Kenangan tidak mudah untuk dilupakan hanya hilang ingatan yang bisa mengobatinya. Sekecil apa pun kenangan akan tetap berada di pikiran.
Kado Terakhir Untukmu menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi, dilewati dan dirasakan sebagai bentuk apresiasi pada sebuah kenangan.
Tulislah apa yang kita rasakan dan rasakan apa yang kita tulis.


Sabtu, 20 Oktober 2018

DWI (Mendung...)


“Masih berusaha menulis cerita, siapa tau kau rindu.  Sebab selalu ada ceria dan duka dalam cerita. Denganmu aku ingin ada diantara kedua itu. Dan aku menulis cerita ini, sebab ada jarak diantara kita yang tak bisa disatukan oleh apa-apa selain kata-kata.”


            Dwi kalau tidak salah ini adalah suratku yang ketiga yang ku tulis tentangmu. Dari ketiga surat yang ku buat ini, aku tak tau kau akan membalasnya atau tidak. Bahkan aku pun tak tau, kau sudah membacanya atau belum. Aaahhh aku tak mementingkan hal itu, yang penting aku menulis dan menceritakan tentangmu. Aku tak peduli tentang hasil; dibaca olehmu karena bagiku yang paling penting adalah sebuah proses. Bukankah tugas manusia itu berproses Dwi ? dari berproses, kita bisa berhasil, bisa juga tidak berhasil. Namun yang pasti, kita sudah merancang strategi untuk menuju keberhasilan. Aduh Dwi maaf, kok aku jadi membahas tentang proses padahal mengenalmu adalah sebuah proses juga. Bisa proses menuju bahagia atau malah sebaliknya.
            Dwi aku lupa. Harusnya kali ini adalah suratku yang ke-4 yang aku kirimkan untukmu. Tapi karena sepekan lalu aku sibuk di acara kemah sekolah jadi aku tak sempat menulis. Tiga hari aku disana Dwi namun persiapannya lebih dari satu minggu. Ditengah kesibukan itu, mengingatmu lebih dari hari-hari sibuk itu. Tuhan memang maha sesukaNya, ditengah kesibukan, Dia tetap menghadirkanmu dipikiranku.
            Oh iya apa kabar Dwi ?
            Akhir-akhir ini kita jadi jarang berkomunikasi. Mungkin karena kau sibuk atau karena kau mencoba menyibukan diri yang akhirnya tak ada waktu untuk chat denganku. Padahal walau pun kita jarang komunikasi, aku masih memantaumu disela-sela waktu. Melihat Instagrammu kapan terakhir aktif, melihat Whats Appmu kapan terakhir online, melihat foto-fotomu di Instagrammu. Aku sering tertawa sendiri Dwi, menertawakan keadaanku yang hanya mampu melihatmu dibalik semua akunmu itu. Aku tak menyebutnya sebagai penderitaan. Aku menyebutnya itu sebagai komedi, maka dari itu aku selalu tertawa ketika mengingatmu. Hidup memang kadang selucu itu Dwi. Seperti mendung yang kadang tidak terjadi hujan.
            Dwi, pertanyaan mengenai kabarmu yang aku tanyakan di atas sudah kau jawab kah ?
            Dwi, kau ingat, saat itu kita sempat ingin bertemu hanya saja tidak jadi karena kau pulang ke Kuningan dan ingin jalan dengan teman-temanmu nonton atau mungkin juga belum waktunya untuk kita bertemu.
Aku lupa Dwi, aku belum cerita tentang hobiku. Saat aku memutuskan untuk bertemu denganmu pun aku masih berpikir, kira-kira kau suka dengan kesukaanku tidak. Aku suka main ke alam, apa pun yang berhubungan dengan alam, aku suka. Entah kenapa jika aku berada di alam, aku lebih bisa merasakan betapa besarnya Tuhan. Aku lebih lebih suka menyendiri sambil membawa selembar kertas untuk menulis tak peduli nanti akan ada yang baca atau tidak. Namun, ketika sendiri, aku lebih bisa bercerita yang aku abadikan melalui tulisan seperti surat ini yang aku tulis untukmu Dwi. Sengaja aku abadikan agar kelak anak cucuku bisa membacanya ketika aku sudah mulai renta bahwa ada orang yang bernama Dwi yang bisa menaklukan aku dengan senyumannya. Meski pun aku tak tau akan menua dengan siapa. Mungkinkah aku menua denganmu Dwi ? bukan tentang tulisan saja yang ku abadikan. Senyum dan sapamu pun perlu ku bingkai sebagai cinderamata untuk masa depanku, agar saat mengenang ada hangat di hati yang membuat senang.
            Seperti umumnya pemuja rahasia. Aku sering meihat story temanmu di Instagram yang menyertakan namamu dalam video yang berdurasi 15 detik itu. Ternyata kau hobi olahraga. Dan aku merasa rendah diri saat mengetahui kau suka dengan olahraga karena aku sendiri sangat jauh dengan kegiatan yang menguras energi itu. Sekalinya aku olahraga paling hanya olahraga tangan; main Playstation berjam-jam aku tak pernah merasa capek. Entah apa alasannya kau suka dengan olahraga, mungkin karena berat badan tapi bagiku kau tak perlu kau merisaukan berat badanmu, bukankah jatuh cinta itu memaafkan apa saja ?
            Hari ini kau sudah minum kopi Dwi ?
Aku tak tau, kau suka kopi atau tidak namun sesekali bolehlah kau coba pesan kopi termanismu dengan kenangan terpahit yang pernah kau rasakan. Dan percayalah kopi yang kau pesan tak akan sepahit kehilangan. Seperti aku kehilanganmu saat kau pergi dari kampungku dan menyisakan jejak-jejak kenangan dalam ingatan. Langkahmu masih utuh disetiap sudut pikiranku.
            Dwi, kau pasti sudah mengetahui jika aku telah takluk dihadapanmu. Dengan senjata utama yang kau miliki, yaitu senyumanmu, aku kalah. Aku telah jatuh pada perasaan yang mungkin tak pernah kau tanggapi. Mungkin saat itu Tuhan sedang bercanda ketika mempertemukan kau dan aku. Itulah alasan kenapa Dia tak membantu keinginanku untuk menyatu denganmu.
            Kau tau Dwi ? aku sering menertawakan diri sendiri, menertawakan keadaanku yang masih saja menunggumu, bagiku menantimu itu bukan kepedihan melainkan anugerah yang perlu ku tertawakan karena dengan menantimu aku menemukan kebahagiaan pada diriku sendiri. Kadang aku pun berpikir betapa lucunya semesta ini yang mempertemukan kita tanpa sengaja, tanpa rencana. Dan juga bisa memisahkan kita tanpa sengaja, tanpa disangka. Itu kan lucu. Tapi ya begitulah hidup, Dwi. Mari kita tertawakan kehidupan ini bersama agar hidup tak selalu merasa lara.
            Dwi , kau harus tau. Cerita-cerita tentangmu yang aku tulis ini terlahir dari air mata di hari kepulanganmu ketika selesai kau jalankan tugas kuliahmu. Mungkin kau sebut dengan kepulangan, bagiku adalah sebuah kehilangan. Ketika aku menulis semua ini, aku ditarik kembali ke waktu yang sudah berlalu saat kau masih disini. Itu kebahagiaan namun saat mulai sadar aku telah kehilangan.
            Dwi, jangan kau kira aku menulis tentangmu ini sesederhana jemari seseorang yang seolah-olah mudah menuliskannya. Sungguh, saat aku menulis tentangmu ada perasaan lirih yang aku sendiri pun tak sanggup menerima kenyataan bahwa disini hanya aku yang selalu mengingatmu, hanya aku yang selalu ingin bertemu denganmu, hanya aku yang selalu menunggu balasan pesan yang kau balas cukup lama, hanya aku yang kehilanganmu saat tak ada akabar darimu, sedangkan kamu tidak sama seperti apa yang aku rasakan.
            Perih saat aku harus menerima kenyataan bahwa disini aku begitu menyayangimu. Disini aku yang yang begitu menginginkanmu. Disini aku yang sangat mengharapkanmu. Dan disini aku yang ingin menjadikanmu sebagai separuh dari bagian hidup dan nafasku.  Keterlaluan atau tidak, aku tak pernah memahami hal itu dengan baik karena yang aku tau, aku hanya harus memperjuangkanmu selagi belum ada yang menggandeng tanganmu dan memakaikan cicin di jari manismu. Aku ingin kau tau, Dwi, meski kau tak harus mengerti.
            Namun, terkadang ada hal-hal yang membuat aku harus bercermin diri. Kadang aku merasa orang sepertiku tak akan pantas berdampingan dengan sosok terindah sepertimu. Saat aku merasa cinta ini semakin dalam, suatu saat nanti aku pun harus siap jika aku harus mundur tanpa diminta. Aku harus siap sadar tanpa ditampar. Aku harus siap hilang tanpa dibuang. Aku harus siap mati tanpa dibunuh. Dan aku juga harus siap pergi tanpa disuruh. Jauh darimu, sungguh aku tak ingin benar-benar melakukannya Dwi. Namun, apakah pantas orang sepertiku berjuang demi mendapatkanmu. Sungguh keadaan inilah yang kadang berbisik dalam hati memerintahkan untuk mengikutinya. Mengikuti kepedihan jika harus jauh darimu.
            Dwi, aku adalah orang yang tak pernah sudi untuk meninggalkanmu, meski mungkin yang kau harapkan adalah ketiadaanku. Aku yang tak pernah rela kau lelah sendirian, meski mungkin kau tak pernah butuh perhatian dariku. Aku yang tak pernah ikhlas melihat kau terpuruk dan menangis akan masalalumu, meski mungkin kau tak butuh bahu dan sapu tangan dariku untuk menghapusnya. Jika memang itu yang kau rasa atau pun nanti jika itu terjadi, aku benar-benar harus merelakanmu Dwi. Lalu aku akan meminta maaf kepadamu. Sebuah maaf bahwa aku sangat menyayangimu. Sebuah maaf untuk perasaanku yang berlaku kurang ajar terhadapmu, yang aku sendiri tak mampu mengendalikannya karena bagiku, kau layak disayangi sehebat itu. Jika itu terjadi, jika aku harus benar-benar kehilnganmu, kunjungilah dadaku sebagai makam pahlawan yang bernama rindu, yang pernah berjuang dan gugur saat memerdekakan hatimu.
            Tenang Dwi, aku masih disini menanti senyumanmu. Aku tak beranjak. Aku masih bersabar, kalau bukan karena cinta, aku tak akan pernah bisa bersabar seperti ini. Bukan karena cinta saja. Aku hanya tak tau pada harapan mana lagi air mata kesabaran ini dapat ku simpan. Dan jika kau tega membuatku hancur, aku pun tega mengumpulkan puing-puingku sehingga utuh menjadi senyummu, Dwi.
           
            Ku akhiri surat ketiga ini dengan sepenggal lirik lagu dari Dewa 19 “Sudikah dirimu untuk kenali aku dulu, sebelum kau ludahi aku, sebelum kau robek hatiku. Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku. Beri sedikit waktu agar cinta datang karena telah terbiasa”.


Minggu, 07 Oktober 2018

DWI (Jarak dan Waktu)

“Sedalam apa pun aku merenung, tak pernah aku dapatkan jawaban mengapa aku menjatuhkan hatiku padamu”.
Dwi, sepertinya aku terlalu ditikam rindu olehmu hingga aku lupa menceritakan keadaanku saat kau pergi dari kampung halamanku. Entah aku lupa atau aku yang terlalu asik membayangkanmu hingga aku tak sadar kau telah pergi jauh.
Saat temanmu berpamitan denganku walau hanya via What’s App karena saat itu aku sedang bekerja, aku hancur Dwi, konsentrasiku hilang, pikiranku hanya terpikirkan engkau, hingga muncul pertanyaan “Bisakah aku bertemu denganmu lagi ? atau ini terakhir aku bertemu denganmu ?”.
Akal sehatku hilang. Aku tak bisa berpikir normal seperti biasanya. Aku khawatir akan kehilangan penyejuk jiwa untuk kesekian kalinya. Aku paham betul bagaimana rasanya kehilangan yang kini membuatku tak ingin kehilanganmu meski aku belum memilikimu seutuhnya. Namun setidaknya, hadirmu memberikan alasan mengapa aku bertahan hidup hingga saat ini.
Dwi, kau tau ? saat temanmu berpamitan kepadaku, saat itu hari menjelang siang. Aku tak berpikir panjang karena otakku tak karuan, aku bergegas untuk pulang dari tempat kerja berharap aku bisa melihatmu, meliihat senyuman tulusmu. Namun, sesampainya di rumah ternyata kau sudah pergi saja. Hanya jejak-jejakmu yang kau tinggalkan di pelataran ingatan.
Aku tak tau apa itu namanya; kehilangan seseorang yang bukan milikku, yang bahkan belum pernah saling berucap sapa. Seperti dicabik-cabik nadiku saat aku tau kau telah berlalu dari kampungku. Ada penyesalan karena aku tak bisa memanfaatkan waktu selama kau disini. Namun apa daya, Tuhan maha pemilik rencana.
Selang beberapa hari kemudian, temanmu yang berkacamata itu mengunggah timeline di media whats app yang berisikan foto kalian bersama. Tanpa basa basi aku langsung screenshots video itu lalu ku lingkari wajahmu sebagai pertanda kau sebagai objek yang akan aku tanyakan padanya.
“Mas kerudung merah itu siapa namanya ?”. Aku pura-pura tak kenal dengan namamu.
“Oh itu Dwi, mas namanya” Jawabnya “Kenapa mas suka ?” Lanjutnya.
Aku tak tau harus jawab apa karena aku tak tau apa yang aku rasakan. Ini cinta atau hanya kekaguman saja.
“Enggak mas cuma nanya aja”. Jawabku.
Kerudung merah yang kau pakai disertai senyuman tulus yang kau miliki itu sungguh membuat mataku jadi kehilangan fokus. Semua terlihat hitam putih kecuali kau yang berwarna. Terkesan berlebihan, namun tak apa, memang begitu adanya. Aku hanya mengatakan apa yang sesungguhnya aku rasakan. Jika kau jadi aku Dwi, tanpa aku ceritakan kau pasti akan paham apa yang sedang aku rasakan.
Jadi sekarang kau sudah makan ? atau masih menunggu balasan pesan dari masalalumu yang kini telah meninggalkan ? Sehebat itukan dia hingga tak bisa kau lupakan ? Cobalah tengok ke arahku Dwi. Masih ada aku yang selalu menunggu senyumanmu berharap akulah alasan yang bisa membuat kau tersenyum. Di dalam aku masih ada aku maka masuklah lebih dalam lagi ke jiwaku agar kau paham siapa aku. Begitu pun aku padamu Dwi.
Sudahlah Dwi lupakan masalalumu itu, berproseslah denganku. Beri aku waktu agar kau bisa berjalan disampingku. Agar kau nyaman denganku. Bukankah cinta itu bisa kita didik ? seiring berjalannya waktu cinta pun akan hadir dengan sendirinya. Aku bukan memaksa hanya saja aku tak ingin kau bersedih karena masalalumu itu.
Lihat aku. Aku yang selalu menunggu balasan pesan What’s App mu yang kau balas begitu lama padahal aku menunggu.
Dengan bantal yang aku letakan di bawah dagu, aku menunggu balasan pesanmu. Tiap notifikasi handphone berbunyi, aku langsung buka handphone. Namun ternyata, hanya pesan dari grup bukan darimu. Kecewa ? tidak bagiku itu bukan kekecewaan, mungkin disana kau sedang sibuk atau bisa jadi aku hanya angin lalu bagimu. Memang tak penting isi pesan yang ku kirimkan padamu Dwi, namun seperti itulah aku yang kadang memaknai hal yang tak penting ternyata bisa menjadi penting.
Dwi, waktu dan jarak akan menyingkap rahasia perasaan, apakah rasa itu semakin besar atau malah semakin memudar. Seperti aku padamu Dwi, aku tak akan pernah keberatan jika harus menunggu balasan pesanmu, menunggu senyumanmu, menunggu perasaan itu tumbuh di hatimu. Berapa pun waktu yang akan ku tempuh, aku akan menunggu selama aku mencintaimu.
Dwi meski kau jauh disana entah kenapa aku tak pernah selesai mendoakanmu, mendoakan keselamatanmu, mendoakan kebahagiaanmu. Berharap bahagiamu adalah aku. Aku ingin menjadi pemilik senyuman tulusmu itu.
Ah sudahlah kau jangan galau cukup gelisah saja. Seperti aku yang selalu gelisah saat mengingatmu karena aku selalu ingin tau keadaanmu disana.
Salam.