“Masih
berusaha menulis cerita, siapa tau kau rindu.
Sebab selalu ada ceria dan duka dalam cerita. Denganmu aku ingin ada
diantara kedua itu. Dan aku menulis cerita ini, sebab ada jarak diantara kita
yang tak bisa disatukan oleh apa-apa selain kata-kata.”
Dwi kalau tidak salah ini adalah
suratku yang ketiga yang ku tulis tentangmu. Dari ketiga surat yang ku buat
ini, aku tak tau kau akan membalasnya atau tidak. Bahkan aku pun tak tau, kau
sudah membacanya atau belum. Aaahhh
aku tak mementingkan hal itu, yang penting aku menulis dan menceritakan
tentangmu. Aku tak peduli tentang hasil; dibaca
olehmu karena bagiku yang paling penting adalah sebuah proses. Bukankah
tugas manusia itu berproses Dwi ? dari berproses, kita bisa berhasil, bisa juga
tidak berhasil. Namun yang pasti, kita sudah merancang strategi untuk menuju
keberhasilan. Aduh Dwi maaf, kok aku jadi membahas tentang proses padahal
mengenalmu adalah sebuah proses juga. Bisa proses menuju bahagia atau malah
sebaliknya.
Dwi aku lupa. Harusnya kali ini
adalah suratku yang ke-4 yang aku kirimkan untukmu. Tapi karena sepekan lalu
aku sibuk di acara kemah sekolah jadi aku tak sempat menulis. Tiga hari aku
disana Dwi namun persiapannya lebih dari satu minggu. Ditengah kesibukan itu,
mengingatmu lebih dari hari-hari sibuk itu. Tuhan memang maha sesukaNya,
ditengah kesibukan, Dia tetap menghadirkanmu dipikiranku.
Oh iya apa kabar Dwi ?
Akhir-akhir ini kita jadi jarang
berkomunikasi. Mungkin karena kau sibuk atau karena kau mencoba menyibukan diri
yang akhirnya tak ada waktu untuk chat
denganku. Padahal walau pun kita jarang komunikasi, aku masih memantaumu
disela-sela waktu. Melihat Instagrammu
kapan terakhir aktif, melihat Whats Appmu
kapan terakhir online, melihat
foto-fotomu di Instagrammu. Aku sering
tertawa sendiri Dwi, menertawakan keadaanku yang hanya mampu melihatmu dibalik
semua akunmu itu. Aku tak menyebutnya sebagai penderitaan. Aku menyebutnya itu
sebagai komedi, maka dari itu aku selalu tertawa ketika mengingatmu. Hidup
memang kadang selucu itu Dwi. Seperti mendung yang kadang tidak terjadi hujan.
Dwi, pertanyaan mengenai kabarmu
yang aku tanyakan di atas sudah kau jawab kah ?
Dwi, kau ingat, saat itu kita sempat
ingin bertemu hanya saja tidak jadi karena kau pulang ke Kuningan dan ingin
jalan dengan teman-temanmu nonton atau mungkin juga belum waktunya untuk kita
bertemu.
Aku lupa Dwi, aku belum cerita tentang
hobiku. Saat aku memutuskan untuk bertemu denganmu pun aku masih berpikir,
kira-kira kau suka dengan kesukaanku tidak. Aku suka main ke alam, apa pun yang
berhubungan dengan alam, aku suka. Entah kenapa jika aku berada di alam, aku
lebih bisa merasakan betapa besarnya Tuhan. Aku lebih lebih suka menyendiri
sambil membawa selembar kertas untuk menulis tak peduli nanti akan ada yang
baca atau tidak. Namun, ketika sendiri, aku lebih bisa bercerita yang aku
abadikan melalui tulisan seperti surat ini yang aku tulis untukmu Dwi. Sengaja
aku abadikan agar kelak anak cucuku bisa membacanya ketika aku sudah mulai
renta bahwa ada orang yang bernama Dwi yang bisa menaklukan aku dengan
senyumannya. Meski pun aku tak tau akan menua dengan siapa. Mungkinkah aku
menua denganmu Dwi ? bukan tentang tulisan saja yang ku abadikan. Senyum dan
sapamu pun perlu ku bingkai sebagai cinderamata untuk masa depanku, agar saat
mengenang ada hangat di hati yang membuat senang.
Seperti umumnya pemuja rahasia. Aku
sering meihat story temanmu di Instagram yang menyertakan namamu dalam
video yang berdurasi 15 detik itu. Ternyata kau hobi olahraga. Dan aku merasa
rendah diri saat mengetahui kau suka dengan olahraga karena aku sendiri sangat
jauh dengan kegiatan yang menguras energi itu. Sekalinya aku olahraga paling
hanya olahraga tangan; main Playstation
berjam-jam aku tak pernah merasa capek. Entah apa alasannya kau suka dengan
olahraga, mungkin karena berat badan tapi bagiku kau tak perlu kau merisaukan
berat badanmu, bukankah jatuh cinta itu memaafkan apa saja ?
Hari ini kau sudah minum kopi Dwi ?
Aku tak tau, kau suka kopi atau tidak
namun sesekali bolehlah kau coba pesan kopi termanismu dengan kenangan terpahit
yang pernah kau rasakan. Dan percayalah kopi yang kau pesan tak akan sepahit
kehilangan. Seperti aku kehilanganmu saat kau pergi dari kampungku dan
menyisakan jejak-jejak kenangan dalam ingatan. Langkahmu masih utuh disetiap
sudut pikiranku.
Dwi, kau pasti sudah mengetahui jika
aku telah takluk dihadapanmu. Dengan senjata utama yang kau miliki, yaitu
senyumanmu, aku kalah. Aku telah jatuh pada perasaan yang mungkin tak pernah
kau tanggapi. Mungkin saat itu Tuhan sedang bercanda ketika mempertemukan kau
dan aku. Itulah alasan kenapa Dia tak membantu keinginanku untuk menyatu
denganmu.
Kau tau Dwi ? aku sering
menertawakan diri sendiri, menertawakan keadaanku yang masih saja menunggumu,
bagiku menantimu itu bukan kepedihan melainkan anugerah yang perlu ku
tertawakan karena dengan menantimu aku menemukan kebahagiaan pada diriku
sendiri. Kadang aku pun berpikir betapa lucunya semesta ini yang mempertemukan
kita tanpa sengaja, tanpa rencana. Dan juga bisa memisahkan kita tanpa sengaja,
tanpa disangka. Itu kan lucu. Tapi ya begitulah hidup, Dwi. Mari kita
tertawakan kehidupan ini bersama agar hidup tak selalu merasa lara.
Dwi , kau harus tau. Cerita-cerita
tentangmu yang aku tulis ini terlahir dari air mata di hari kepulanganmu ketika
selesai kau jalankan tugas kuliahmu. Mungkin kau sebut dengan kepulangan,
bagiku adalah sebuah kehilangan. Ketika aku menulis semua ini, aku ditarik
kembali ke waktu yang sudah berlalu saat kau masih disini. Itu kebahagiaan
namun saat mulai sadar aku telah kehilangan.
Dwi, jangan kau kira aku menulis
tentangmu ini sesederhana jemari seseorang yang seolah-olah mudah
menuliskannya. Sungguh, saat aku menulis tentangmu ada perasaan lirih yang aku
sendiri pun tak sanggup menerima kenyataan bahwa disini hanya aku yang selalu
mengingatmu, hanya aku yang selalu ingin bertemu denganmu, hanya aku yang
selalu menunggu balasan pesan yang kau balas cukup lama, hanya aku yang
kehilanganmu saat tak ada akabar darimu, sedangkan kamu tidak sama seperti apa
yang aku rasakan.
Perih saat aku harus menerima
kenyataan bahwa disini aku begitu menyayangimu. Disini aku yang yang begitu
menginginkanmu. Disini aku yang sangat mengharapkanmu. Dan disini aku yang
ingin menjadikanmu sebagai separuh dari bagian hidup dan nafasku. Keterlaluan atau tidak, aku tak pernah
memahami hal itu dengan baik karena yang aku tau, aku hanya harus
memperjuangkanmu selagi belum ada yang menggandeng tanganmu dan memakaikan
cicin di jari manismu. Aku ingin kau tau, Dwi, meski kau tak harus mengerti.
Namun, terkadang ada hal-hal yang
membuat aku harus bercermin diri. Kadang aku merasa orang sepertiku tak akan pantas
berdampingan dengan sosok terindah sepertimu. Saat aku merasa cinta ini semakin
dalam, suatu saat nanti aku pun harus siap jika aku harus mundur tanpa diminta.
Aku harus siap sadar tanpa ditampar. Aku harus siap hilang tanpa dibuang. Aku harus
siap mati tanpa dibunuh. Dan aku juga harus siap pergi tanpa disuruh. Jauh darimu,
sungguh aku tak ingin benar-benar melakukannya Dwi. Namun, apakah pantas orang
sepertiku berjuang demi mendapatkanmu. Sungguh keadaan inilah yang kadang
berbisik dalam hati memerintahkan untuk mengikutinya. Mengikuti kepedihan jika
harus jauh darimu.
Dwi, aku adalah orang yang tak
pernah sudi untuk meninggalkanmu, meski mungkin yang kau harapkan adalah ketiadaanku.
Aku yang tak pernah rela kau lelah sendirian, meski mungkin kau tak pernah
butuh perhatian dariku. Aku yang tak pernah ikhlas melihat kau terpuruk dan
menangis akan masalalumu, meski mungkin kau tak butuh bahu dan sapu tangan
dariku untuk menghapusnya. Jika memang itu yang kau rasa atau pun nanti jika
itu terjadi, aku benar-benar harus merelakanmu Dwi. Lalu aku akan meminta maaf
kepadamu. Sebuah maaf bahwa aku sangat menyayangimu. Sebuah maaf untuk
perasaanku yang berlaku kurang ajar terhadapmu, yang aku sendiri tak mampu
mengendalikannya karena bagiku, kau layak disayangi sehebat itu. Jika itu
terjadi, jika aku harus benar-benar kehilnganmu, kunjungilah dadaku sebagai
makam pahlawan yang bernama rindu, yang pernah berjuang dan gugur saat
memerdekakan hatimu.
Tenang Dwi, aku masih disini menanti
senyumanmu. Aku tak beranjak. Aku masih bersabar, kalau bukan karena cinta, aku
tak akan pernah bisa bersabar seperti ini. Bukan karena cinta saja. Aku hanya
tak tau pada harapan mana lagi air mata kesabaran ini dapat ku simpan. Dan jika
kau tega membuatku hancur, aku pun tega mengumpulkan puing-puingku sehingga
utuh menjadi senyummu, Dwi.
Ku akhiri surat ketiga ini dengan
sepenggal lirik lagu dari Dewa 19 “Sudikah
dirimu untuk kenali aku dulu, sebelum kau ludahi aku, sebelum kau robek hatiku.
Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku. Beri sedikit
waktu agar cinta datang karena telah terbiasa”.