Selamat Datang, Baca, Pahami dan Rasakan dari Sebuah Tulisan

Selamat Datang, Baca, Pahami, dan Renungkan Makna Indahnya Kenganan dari Sebuah Tulisan
Kenangan tidak mudah untuk dilupakan hanya hilang ingatan yang bisa mengobatinya. Sekecil apa pun kenangan akan tetap berada di pikiran.
Kado Terakhir Untukmu menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi, dilewati dan dirasakan sebagai bentuk apresiasi pada sebuah kenangan.
Tulislah apa yang kita rasakan dan rasakan apa yang kita tulis.


Sabtu, 01 Desember 2018

DWI (Malaikat Bertanduk Dua)

“Ada ketulusan yang selalu datang menyapamu setiap hari, kaunya saja yang menolak untuk melihat dan lebih memilih untuk menatap ke arah lain”.


Serpihan itu masih belum rapih juga Dwi. Luka yang teramat dalam membuat aku enggan untuk berlalu. Hingga aku mengenalmu di suatu sore saat itu. Aku merasa kembali percaya bahwa bahagia itu ada meski aku tak begitu dalam mengenalmu.
Senyummu itu yang membuatku bangkit, dari senyumu juga aku tak henti-hentinya menulis tentangmu. Aku merasa begitu dekat denganmu setiap hari, apakah kau juga merasakan sama seperti yang aku rasakan ? Ah aku tak peduli apa yang kau rasa, yang pasti aku selalu bahagia saat mengingatmu.
Beberapa hari yang lalu kau mengupload foto dengan temanmu, sepertinya di acara pernikahan atau sejenisnya. Aku tak henti-hentinya melihat foto itu. Jelas kau sangat anggun Dwi, dengan baju hitam berbalut garis putih disertai dengaan kerudung berwarna pink yang kau kenakan menambah keindahan wajahmu sebagai karya Tuhan yang tak mampu digambarkan oleh apa pun. Sungguh aku telah takluk di hadapanmu Dwi.
Dwi, kadang aku sering mengeluh kepada Tuhan, mengapa Tuhan menganugerahkan cinta yang tak mungkin untuk bersatu, aku yakin Tuhan mendengarkan doaku yang selalu aku panjatkan setiap malam, yaitu namamu yang selalu aku sebut. Namun, Dia tak pernah peduli seolah tak pernah mendengarkan doaku. Aku hanya ingin bahagia bersamamu Dwi sebagai apa pun itu.
Lihat aku Dwi. Aku ada di dunia ini bukan seperti angin yang hilang dan berlalu begitu saja. Aku disini, diam di tempat berharap kau datang menemuiku karena aku tak mampu menemuimu. Waktumu yang selalu menjadi batas membuat aku sulit menjumpaimu. Sedangkan waktuku, aku berikan sepenuhnya untukmu bahkan menunggumu yang tak tau sampai kapan, aku rela.
Dwi bagaimana kabarmu kini ?
Sehatkah ?
Bagaimana dengan persaanmu ? sudah menemukan tambatan  hati ? jika belum ijinkan aku menjadi penghuni hatimu atau ijinkan aku mencari dimana letak kunci hatimu agar aku bisa masuk mengetuk relung hatimu. Jangan diam saja, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu Dwi dalam suka mau pun duka, tak terbatas waktu. Aku ingin selamanya bersamamu. Ini bukan hanya untaian kata belaka. Ini adalah kejujuran yang tak mampu aku utarakan karena terlalu dalam perasaanku padamu hingga akhirnya aku tak bisa berbicara tentang perasaan kepadamu dengan lantang. Seperti sekarang, aku mampu menulis tentangmu namun ketika kelak jika kau ada waktu dan kita bertemu, aku tidak yakin mampu berbicara selantang ini seperti aku menulis tentangmu ini. Aku pasti canggung, terlebih saat aku melihat senyumanmu.
Aduuuh senyumanmu. Lagi-lagi aku terbius oleh senyumanmu, masih membekas jelas di pelupuk mata senyumanmu itu Dwi. Gigi gingsulmu membuat kau semakin menarik, terlebih kebaikanmu. Jika nanti kita bertemu bolehkah aku foto bersama denganmu Dwi ? namun dengan syarat kau harus tersenyum, senyuman tulusmu. Nanti, akan aku bingkai dalam kenangan yang tak akan pernah aku lupakan.
Dwi, aku tau, saat aku menjatuhkan perasaan ini padamu, aku akan patah hati, patah hati yang disengaja tapi aku menikmatinya sebagai kesakitan yang paling indah. Jelas kenapa aku akan patah hati karena aku tau kau tak akan membukakan hatimu untukku. Tak masalah, karena cinta memang tak bisa dipaksakan dan aku jatuh cinta padamu pun tak bisa aku hindari. Tiba-tiba saja rasa itu hadir. Semakin aku membuang jauh-jauh perasaanku, bayangmu semakin menghantui di setiap jejak langkah kakiku. Dimana pun, kapan pun, kau selalu hadir dalam ingatanku Dwi.
Oh iya Dwi, sekarang aku lagi di bibir laut yang ada di daerah Indramayu. Sengaja aku main ke sini, seperti biasa, aku ke sini sendirian sambil membawa laptop yang memang dengan niatan untuk menulis surat untukmu di sini. Di sini cukup ramai Dwi padahal hari sudah menjelang sore namun semakin banyak pengunjung yang datang. Banyak sepasang remaja yang sedang menghabiskan waktu disini, ada juga yang membawa keluarganya, bahkan aku sesekali tertawa melihat anak-anak kecil yang sedang bermain bola di pinggir laut ini. Asik sekali mereka, berlari kesana kemari, tertawa, sesekali mereka bermain air. Lucu sekali tingkah mereka Dwi. Yaa wajar juga, kadang aku ingin memutar waktu, ingin rasanya seperti mereka yang belum merasakan kepahitan, yang belum merasakan beban hidup. Dan yang pasti belum merasakan patah hati.
Dwi, sekarang aku sedang mendengarkan nyanyian laut yang dikumandangan oleh gemuruh ombak, Dwi. Jujur aku memang baru beberapa kali main ke laut karena aku sendiri lebih suka ke daerah dataran tinggi. Di laut terkesan cuacanya panas dan anginnya tidak sesejuk di gunung. Namun, aku baru sadar ketika disini, bahwa ombak tak pernah ingkar janji, bukan hanya merpati saja. Ada janji dari ombak untuk pasir ketika dia pergi seolah ombak berkata “Tunggu aku, aku akan datang kembali”. Selalu seperti itu. Semoga kau seperti ombak juga Dwi, setelah kepergianmu dari kampungku, semoga kau akan datang lagi ke sini, tempat awal aku mengenalmu. Awal aku melihat senyuman tulusmu.
Lihat !
Dwi lihat ! tepat di depan mataku ada sepasang remaja. Dia tertawa sembari bercanda gurau dengan pasangannya. Sesekali mereka saling bertatapan dengan tangan yang tak pernah dia lepaskan, sangat erat sekali mereka saling menggenggam.
Sekarang mereka menatap ke arahku Dwi. Dengan tatapan yang seolah asing melihat aku yang sedang duduk sendirian sambil menulis surat ini. Namun, perempuan itu melemparkan senyuman ke arahku. Entah itu senyuman apa, namun yang bisa aku artikan itu sebagai senyuman seperti menggunjing karena aku hanya sendiri. Apa pun itu tereserah mereka yang sedang dimabuk asmara. Mungkin mereka belum mengenal kau saja Dwi yang memiliki senyuman tulus, yang bisa membuat teduh seluruh jiwa.
Dwi, sekarang hari sudah menjelang sore, sudah saatnya aku bergegas pulang. Namun, aku masih merindukanmu yang tak mengenal waktu. Aku berharap kau adalah rumah tempat aku pulang setelah aku lelah bertualang. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu dan aku ingin menjelajah alam bersamamu Dwi, berdua kita lalui jalan yang akan kita hadapi nanti, jika Tuhan menghendaki, aku mengaminkan selalu.
Ah akhirnya cuaca mendung juga Dwi, aku takut terkena hujan di tengah perjalanan menuju rumah. Aku tak ingin Dwi. Entah kenapa hujan selalu akan menjadi cerita, jika bersamamu aku mau terkena hujan berdua agar menjadi cerita yang tak akan ku lupakan sehingga saat hujan turun aku akan kembali ke masa itu. Namun, ini baru mendung, mendungyang belum tentu terjadi hujan. Seperti penantian, yang belum tentu akan membuahkan hasil seperti yang di harapkan.
Akhirnya hujan juga Dwi. Hal yang tadinya ingin aku hindari. Namun bagaimana lagi, aku tak bisa menyalahkan hujan juga karena hujan adalah hanya air yang patuh kepada Tuhan. Jika kata Tuhan air itu disuruh turun maka turunlah air itu, yang kita sebut sebagai hujan. Oh iya, aku sekarang berada di sebuah toko retail i pinggir jalan. Tadi aku hendak pulang, namun masih di tengah perjalanan, ujan tiba-tiba menjadi deras akhirnya aku putuskan untuk berteduh dulu. Sambil menunggu hujan reda, aku melanjutkan tulisan ini yang tadi terhenti.
Dengan kopi instan berbentuk botol yang sengaja aku beli dan rokok yang hampir habis aku bakar, aku melanjutkan menulis. Saat aku menulis, tiba-tiba kau seolah ada disisiku Dwi, menemaniku menulis. Aku jadi tidak merasa sedang sendirian.
Lihatlah hujan itu Dwi !!!
Hujan melihat hari-hariku penuh dengan keceriaan saat aku menulis surat ini untukmu Dwi walau dengan cahaya langit yang sedikit temaram akibat berbalut mendung. Namun, hujan kerap memberikan aku pelajaran penting juga tentang hakikat hidup di dunia ini Dwi. Hidup di dunia yang semuanya itu hanya sebuah ilusi, mulai dari pahitnya dan getirnya hidup. Namun tetap indah untuk aku menghabiskan waktuku untuk mengingatmu Dwi. Walah hanya sekedar mengingat, walau hanya sekedar membayangkan. Kadang teman-temanku sering menertawakan aku yang setiap hari menulis surat untukmu. Kata mereka aku tidak waras karena telah membuang-buang waktu. Aduuuh mereka hanya belum mengenalmu saja Dwi. Mereka belum paham saja, bahwa orang yang jatuh cinta itu tak ada yang waras. Mereka bilang aku membuang-buang waktu. Mereka hanya belum paham saja bahwa aku sedang membuat sebuat prasati kenangan denganmu yang kelak akan menjadi abadi walau hanya dengan tulisan surat-surat ini. Surat ini akan abadi, yang bisa dibaca oleh anak cucu ku kelak. Dan anak cucuku akan tau bahwa aku telah takluk oleh senyuman perempuan yang bernama Dwi.
Ooohh hujan, sampaikan salamku pada Dwi, takan bosan aku memuja dan memujinya. Samapaikan salamku padanya jangan biasi larangan bagiku untuk tetap memuja, mencintai dan menantinya. Walau kadang ajal akan menjemputku nanti aku tak pernah takut. Tapi hujan jangan kau buat aku takut yang mencekam, biarkan dinginmu saja yang menyelimuti.
Dingin !
Hujan, kau kalah dingin oleh sikap Dwi kepadaku. Entah apa salahku hingga Dwi kini bersikap sedingin itu. Aku tak tau apa kesalahanku. Apa karena aku mencintaimu Dwi hingga kau jadi dingin kepadaku. Jika pun iya, aku ingin bertanya “Apa yang salah dari orang yang sedang jatuh cinta ?”
Dwi, semoga diammu kepadaku bukan diam yang disengaja karena tak selamanya diam itu emas. Buktinya bagiku, diammu bukan emas tapi nerakanya dunia yang membakar jiwa dan hatiku.
Dwi, aku masih sedang menikmati hujan dari balik meja yang terbuat dari besi. Masih menikmatinya. Dan masih denganmu yang kini terasa duduk disampingku.
Salam....