Selamat Datang, Baca, Pahami dan Rasakan dari Sebuah Tulisan

Selamat Datang, Baca, Pahami, dan Renungkan Makna Indahnya Kenganan dari Sebuah Tulisan
Kenangan tidak mudah untuk dilupakan hanya hilang ingatan yang bisa mengobatinya. Sekecil apa pun kenangan akan tetap berada di pikiran.
Kado Terakhir Untukmu menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi, dilewati dan dirasakan sebagai bentuk apresiasi pada sebuah kenangan.
Tulislah apa yang kita rasakan dan rasakan apa yang kita tulis.


Sabtu, 29 September 2018

DWI (Hadir Setelah Pergi)

            Hai apa kabar Dwi ? pasti kau sehat disana. Masih ingatkah kau denganku ? aku yang tidak pernah berbicara kepadamu. Bukan aku tak mau berbicara denganmu, hanya saja belum saatnya aku berbagi denganmu saat itu.
            Aku panggil kau Dwi. Itu sebagian dari nama lengkapmu. Entah kenapa aku ingin memanggilmu Dwi, Dwi dalam bahasa sansekerta yang artinya dua tapi tidak berlaku buatku, karena bagiku kau tak ada duanya. Kau satu, kau tunggal. Tak ada yang menyerupaimu yang aku temukan dimakhluk ciptaan-Nya. Kau satu-satunya. Satu-satunya perempuan yang selalu aku tunggu balasan pesan via Whats App. Centang dua ciri khas dari aplikasi pemersatu komunikasi kita selalu aku pandangi berharap cepat kau baca lalu membalasnya. Namun, Tuhan maha asik bisa memainkan perasaan rinduku padamu Dwi dengan cara Tuhan menggariskan kau untuk lama membalas pesanku. Satu jam, 2 jam, 3 jam, dan seterusnya, baru kau membalas pesanku.
            Kau tau Dwi ? saat aku mengenalmu walau tanpa ucapan, aku seketika terbunuh oleh senyumanmu. Senyuman tulusmu. Diam-diam aku menikmati karya Tuhan yang ada hanya di dirimu; senyummu.
            Aku perhatikanmu, sesekali aku ingin berkata “Hey” tapi entah kenapa lidahku tak mampu mengucapkannya. Bukan tidak berani, aku takut kau terganggu dengan ucapanku. 
            Oh iya Dwi, aku lupa menceritakan bahwa aku mengenalmu itu tidak sengaja. Tidak ada rencana perkenalan kita. Sekali lagi Tuhan memang banyak kejutan, tiba-tiba saja kau datang ke kampung halamanku dengan tugas kuliah yang menjadi alasan kau menjemput cerita ini. 40 hari kau disini, di kampung halamanku, 40 hari kita tak pernah berbicara bahkan berucap sedikit pun, 40 hari pula aku selalu mengingat senyuman tulusmu.
Teman-temanmu banyak bercerita tentang keluh kesah hidup disini. Mulai dari susah mendapatkan air untuk mandi dan mencuci hingga keramahan warga. Namun, kau diam. Tak pernah ku dengar ceritamu.
Seperti kopi yang kekurangan gula tp saat gula ditambahkan, kopi kehilangan rasa khasnya. Begitulah aku padamu, ingin mendekatimu. Namun, aku takut kau malah merasa terganggu. Aaahhh perkenalan memang begitu kaku atau aku yang terlalu takut kau merasa terganggu.
Sesekali aku mampir ke posko tempatmu singgah. Berkumpul dengan teman-temanmu. Bercerita untuk mengakrabkan diri. Namun, prikianku selalu berkta “Dimana Dwi ?”. Pikiranku terus menjelajah ke setiap sudut imajinasi berharap menemukan jawaban “Kau sedang dimana”.
Aku masih ingat, saat hari pertama kau disini. Aku ajak teman-temanmu pergi berendam di objek wisata pemandian air panas. Kau sangat lugu disana, kau ingin berendam tapi kau ragu, misalnya. Lalu setelah itu, dilanjutkan pergi ke sumber air untuk membersihkan aroma belerang yang menyengat, menempel di baju dan kulit putihmu itu. Aku tertawa dalam hati karena kemana pun kau pergi mataku selalu tertuju padamu.
Aku masih ingat, saat menjelang hari terakhirmu disini. Kita berkumpul di tempat olahraga, jika tak ada dirimu jujur aku malas datang bukan karena aku tidak suka olahraga hanya saja badanku sudah lelah seharian kerja dan mengerjakan tugas di kantor. Namun, kau tau mengapa aku datang ke sana. Ya alasannya karena kamu; karena ada dirimu.
Aku ingat dengan jelas, kau sangat pandai memainkan raket dalam permainan bulu tangkis. Dengan mengenakan kaos pendek berwarna putih gelap seperti warna awan mendung (aku tak tau itu warna apa namanya) kau lincah ke kanan dan ke kiri mencari bola.

“Dia bagus yak ?” Aku bertanya pada temanmu yang berkacamata itu.
Dia pun menjawab “Iya dia pernah ikut sekolah bulu tangkis, mas”. Ucapnya
Padahal dalam hati aku berkata pada temanmu itu “Bukan permainan bulu tangkisnya yang bagus tapi senyumannya itu tulus banget”. Tapi aku gak berani berkata itu pada temanmu, aku Cuma menjawab “Ooooohhh”.
Mataku tak pernah lepas dari gerakmu karena ucapan paling jujur adalah tatapan mata. Meski aku tak berkata sedikit pun padamu Dwi namun percayalah mataku selalu berkomunikasi denganmu berharap kau bisa merasakannya.
Jika kita ingin tau cahaya, kita perlu merasakan kegelapan agar paham dan bisa membedakan  seperti apa cahaya dan kegelapan. Begitu pula aku, ketika kau masih disini dan saat kau sudah kembali ke duniamu. Gelap tak ada cahaya. Namun ada kabar baik yang aku dapatkan sertelah kepergianmu dari kampung halamanku; aku mendapatkan nomor ponselmu.
Kita berkomunikasi via whats app seperti yang sudah aku jelaskan di atas. Kau lama membalas pesanku padahal aku menunggu. Aku hanya ingin bisa lebih mengenalmu, bercerita denganmu sebagai permintaan maafku karena telah menyia-nyiakan waktu saat kau masih disini tak sedikit pun aku bercerita denganmu.
Dwi, aku jelaskan lagi agar kau selalu ingat mengapa ku panggil kau dengan nama Dwi. Dwi sebagian dari nama lengkapmu. Namun, dalam tulisan ini, Dwi bukan berarti dua. Kau, Dwi yang bermakna tunggal, satu, karena kau tak ada duanya bagiku. Itulah alasan aku memanggilmu Dwi.
Ternyata yang membekas itu bukan hanya luka tapi senyumu pun masih membekas di pelupuk mata.
Mendekatlah, jangan menjauh, aku sudah rindu melihat senyumu. Jangan terlalu lama membalas pesanku karena aku menunggu.