Hai apa kabar Dwi ? pasti kau
sehat disana. Masih ingatkah kau denganku ? aku yang tidak pernah berbicara
kepadamu. Bukan aku tak mau berbicara denganmu, hanya saja belum saatnya aku
berbagi denganmu saat itu.
Aku panggil kau Dwi. Itu sebagian
dari nama lengkapmu. Entah kenapa aku ingin memanggilmu Dwi, Dwi dalam bahasa
sansekerta yang artinya dua tapi tidak berlaku buatku, karena bagiku kau tak
ada duanya. Kau satu, kau tunggal. Tak ada yang menyerupaimu yang aku temukan
dimakhluk ciptaan-Nya. Kau satu-satunya. Satu-satunya perempuan yang selalu aku
tunggu balasan pesan via Whats App. Centang
dua ciri khas dari aplikasi pemersatu komunikasi kita selalu aku pandangi
berharap cepat kau baca lalu membalasnya. Namun, Tuhan maha asik bisa memainkan
perasaan rinduku padamu Dwi dengan cara Tuhan menggariskan kau untuk lama
membalas pesanku. Satu jam, 2 jam, 3 jam, dan seterusnya, baru kau membalas
pesanku.
Kau tau Dwi ? saat aku mengenalmu
walau tanpa ucapan, aku seketika terbunuh oleh senyumanmu. Senyuman tulusmu.
Diam-diam aku menikmati karya Tuhan yang ada hanya di dirimu; senyummu.
Aku perhatikanmu, sesekali aku ingin
berkata “Hey” tapi entah kenapa lidahku tak mampu mengucapkannya. Bukan tidak
berani, aku takut kau terganggu dengan ucapanku.
Oh iya Dwi, aku lupa menceritakan
bahwa aku mengenalmu itu tidak sengaja. Tidak ada rencana perkenalan kita.
Sekali lagi Tuhan memang banyak kejutan, tiba-tiba saja kau datang ke kampung
halamanku dengan tugas kuliah yang menjadi alasan kau menjemput cerita ini. 40
hari kau disini, di kampung halamanku, 40 hari kita tak pernah berbicara bahkan
berucap sedikit pun, 40 hari pula aku selalu mengingat senyuman tulusmu.
Teman-temanmu banyak bercerita tentang
keluh kesah hidup disini. Mulai dari susah mendapatkan air untuk mandi dan
mencuci hingga keramahan warga. Namun, kau diam. Tak pernah ku dengar ceritamu.
Seperti kopi yang kekurangan gula tp
saat gula ditambahkan, kopi kehilangan rasa khasnya. Begitulah aku padamu,
ingin mendekatimu. Namun, aku takut kau malah merasa terganggu. Aaahhh
perkenalan memang begitu kaku atau aku yang terlalu takut kau merasa terganggu.
Sesekali aku mampir ke posko tempatmu
singgah. Berkumpul dengan teman-temanmu. Bercerita untuk mengakrabkan diri.
Namun, prikianku selalu berkta “Dimana Dwi ?”. Pikiranku terus menjelajah ke
setiap sudut imajinasi berharap menemukan jawaban “Kau sedang dimana”.
Aku masih ingat, saat hari pertama kau
disini. Aku ajak teman-temanmu pergi berendam di objek wisata pemandian air
panas. Kau sangat lugu disana, kau ingin berendam tapi kau ragu, misalnya. Lalu
setelah itu, dilanjutkan pergi ke sumber air untuk membersihkan aroma belerang
yang menyengat, menempel di baju dan kulit putihmu itu. Aku tertawa dalam hati
karena kemana pun kau pergi mataku selalu tertuju padamu.
Aku masih ingat, saat menjelang hari
terakhirmu disini. Kita berkumpul di tempat olahraga, jika tak ada dirimu jujur
aku malas datang bukan karena aku tidak suka olahraga hanya saja badanku sudah
lelah seharian kerja dan mengerjakan tugas di kantor. Namun, kau tau mengapa
aku datang ke sana. Ya alasannya karena kamu; karena ada dirimu.
Aku ingat dengan jelas, kau sangat
pandai memainkan raket dalam permainan bulu tangkis. Dengan mengenakan kaos
pendek berwarna putih gelap seperti warna awan mendung (aku tak tau itu warna apa namanya) kau lincah ke kanan dan ke kiri
mencari bola.
“Dia bagus yak ?” Aku bertanya pada
temanmu yang berkacamata itu.
Dia pun menjawab “Iya dia pernah ikut
sekolah bulu tangkis, mas”. Ucapnya
Padahal dalam hati aku berkata pada
temanmu itu “Bukan permainan bulu
tangkisnya yang bagus tapi senyumannya itu tulus banget”. Tapi aku gak
berani berkata itu pada temanmu, aku Cuma menjawab “Ooooohhh”.
Mataku tak pernah lepas dari gerakmu
karena ucapan paling jujur adalah tatapan mata. Meski aku tak berkata sedikit
pun padamu Dwi namun percayalah mataku selalu berkomunikasi denganmu berharap
kau bisa merasakannya.
Jika kita ingin tau cahaya, kita perlu
merasakan kegelapan agar paham dan bisa membedakan seperti apa cahaya dan kegelapan. Begitu pula
aku, ketika kau masih disini dan saat kau sudah kembali ke duniamu. Gelap tak
ada cahaya. Namun ada kabar baik yang aku dapatkan sertelah kepergianmu dari
kampung halamanku; aku mendapatkan nomor ponselmu.
Kita berkomunikasi via whats app seperti
yang sudah aku jelaskan di atas. Kau lama membalas pesanku padahal aku menunggu.
Aku hanya ingin bisa lebih mengenalmu, bercerita denganmu sebagai permintaan
maafku karena telah menyia-nyiakan waktu saat kau masih disini tak sedikit pun
aku bercerita denganmu.
Dwi, aku jelaskan lagi agar kau selalu
ingat mengapa ku panggil kau dengan nama Dwi. Dwi sebagian dari nama lengkapmu.
Namun, dalam tulisan ini, Dwi bukan berarti dua. Kau, Dwi yang bermakna
tunggal, satu, karena kau tak ada duanya bagiku. Itulah alasan aku memanggilmu
Dwi.
Ternyata yang membekas itu bukan hanya
luka tapi senyumu pun masih membekas di pelupuk mata.
Mendekatlah, jangan menjauh, aku sudah
rindu melihat senyumu. Jangan terlalu lama membalas pesanku karena aku
menunggu.