"Ka,
data skripsi bekas kaka dulu masih ada gak ?” pesan yang dikirim Uli Damayanti
melalui akun facebooknya.
Pesan itu yang akan mengantarkan
cerita biasa ini menjadi sebuah kenangan dibalik sebuah pertemuan.
Aku tidak mengerti, akhir-akhir ini
aku jadi sering berkomunikasi dengan Uli Damayanti lagi, padahal dulu sempat lost contact. Jelas aku merasa
senang dengan sering berkomunikasi dengannya, bukan berarti aku ingin merebut
dia dari pacarnya tapi setidaknya aku telah dinganggap sebagai temannya. Meski
pun aku hanya sebagai teman, aku mencoba
menjadi teman yang nyaman untuknya meski pun aku tidak tau dia nyaman atau
tidak dengan teman seperti aku ini. Intinya, aku akan berusaha sebisaku untuk
selalu ada saat dia dalam masalah, masalah apa pun itu.
Untuk sekedar tau saja, aku belum
pernah ngobrol dengannya baik langsung atau pun via telepon tapi entah kenapa
aku selalu ada inspirasi dalam membuat cerita tentangnya, seperti cerita ini.
Gara-gara aku sering membuat cerpen tentangnya yang ku posting di blog yang ku
kelola, dan tulisan-tulisan di blog itu sering dibaca oleh murid-muridku
beserta para rekan-rekan guru di sekolah makannya tidak heran ketika aku masuk
kelas, atau lewat di depan murid mereka selalu berkata dengan lantang “Ciyee
Uli Damayanti”. Aku hanya bisa tersenyum, senyuman manis semanis gula, gula darah
sambil berkata dalam hati “siapa nama murid yang berkata seperti itu ?
siapaaaa? Akan aku remedial nanti, awasss !! awas kamu !!!!!”.
Dan rekan-rekan guru pun tidak mau
kalah sama murid. Setiap kali aku masuk ke ruangan guru, para guru langsung
menyambut dengan berkata “Emang siapa sih Uli Damayanti”, “Orang mana sih Uli
Damayanti”, “Uli Damayanti sekolah, kuliah atau kerja” dan ada juga yang lebih
parah “Pak Derif, tolong jangan kenalkan Uli Damayanti kepada saya, nanti
bisa-bisa dia suka sama saya”. Dan saya jawab dengan santai “ Tenang aja pak,
Uli Damayanti gak suka sama Om-om kok”.
Kembali ke cerita. Aku dan Uli
Damayanti bernegosiasi mencari hari yang tepat untuk bertemu karena jadwal PPL
dia full dan jadwal kerja saya juga full.
“Ka, kamis aja ketemu untuk mengkopi
data sekripsinya”. Ucap Uli Damayanti yang dikirim melalui pesan di facebook.
“Okee”
Jangankan kamis, bagiku setiap hari
pun kalau dia mau aku siap untuk bertemu dia, yang jadi masalah kayaknya dia
yang tidak mau bertemu saya makannya cuma hari kamis aja bertemunya.
“Nanti ketemunya di sekolah aja, kan
sekolah tempat aku kerja deket dengan rumah kamu Uli jadi biar deket kamu
pulangnya”. Lanjutku.
“Okee” jawab Uli Damayanti di ujung
sana.
Hari untuk bertemu sudah ditentukan,
kini mental yang kuat harus bisa ku siapkan maklum ini pertama kalinya aku akan
ngobrol langsung dengan dia. Walau pun aku bertemu dia masih 3 hari lagi,
jantung ini mau loncat keluar, aku jadi serba salah, aku jadi susah
berkonsentrasi, aku jadi susah tidur, susah makan, susah tidur sambil makan,
tidur kalau ngantuk saja, makan kalau laper aja. Aku berpikir “Ini kenapa kok jadi
tiba-tiba jadi kayak gini”.
Layaknya orang sedang jatuh cinta,
aku menjadi gelisah, perasaan gak karuan, begini salah begitu salah. Semua
strategi untuk bertemu dengan dia ku persiapkan dengan matang, dari apa yang
harus ku ucapkan terlebih dahulu saat bertemu dia, gaya bahasanya seperti apa
agar tidak terlihat kaku namun tidak terlihat lebay. Semua itu aku lakukan
bukan karena apa-apa, aku cuma takut dia merasa jadi risih.
Malam harinya aku jadi susah tidur,
depresi mungkin itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang aku rasakan
saat ini. Semua aku persiapkan dari data yang akan dikirim besok untuk dia
sampai baju yang akan aku gunakan untuk pertemuan pertama ini. Bolak-balik buka
lemari cari kemeja yang pas agar aku tidak terlihat kurus dan pendek, maklum
tinggi dan berat badanku masih dibawah standar nasional Indonesia jadi kalau
aku pake baju anak SMP yaa mirip anak SMP tapi dengan versi berkumis dan
dilengkapi jenggot.
Semakin malam perasaan itu semakin
gak karuan, seolah ada malaikat dan iblis di atas kepalaku yang mencoba menjerumuskan
dan menasehatiku seperti di film-film ketika tokoh utama sedang dilema. Iblis
berkata “Sudahlah tidak usah bertemu lagi lebih baik file skripsinya dikirim
lewat facebook aja, kan selesai”, lalu malaikat berkata yang membuat aku semaik
dilemma “Derif bertemulah, kesempatan tidak akan datang dua kali, bukankah dari
dulu kamu ingin bertemu dengan dia ?”. Hatiku menjerit “Tidaaaaaaaaaaaaaakkk”.
Sangat sinetron banget.
Jarum jam menunjukan pukul 23.45
namun mata ini masih tetap enggan untuk tertutup, resah yang aku rasakan. Aku
masih tetap di atas tempat tidur dengan posisi yang sama, masih di depan layar
laptop. Ku baca-baca kembali skripsi yang mengantarkanku menjadi lulusan
Sarjana Pendidikan. Di atas tempat tidur itu aku hanya berharap ada pesan dari
Uli Damayanti untukku.
2 hari berlalu begitu cepat dan besok siang
tepat aku bertemu dengan Uli Damayanti. malam harinya aku mempersiapkan
semuanya, mulai dari data yang akan aku kirimkan kepada Uli Damayanti sampai
pakaian apa yang aku gunakan untuk pertemuan itu. Masalah data skripsi sudah
kelar dipersiapkan, sekarang tingal style
apa yang akan ku gunakan. Untuk sekedar
tau, aku termasuk orang yang tidak begitu memperdulikan masalah penampilan,
yang membuat aku nyaman ya itu yang aku pakai. Aku juga tidak begitu mengerti
mengenai warna pakaian apa yang sekiranya cocok antara warna celana dan baju.
Karena aku tidak mengerti, semua baju dan celana aku coba gunakan ke badan yang
tidak gemuk dan tidak tinggi ini di depan cermin. Mulai dari celana yang
berwarna hijau dan baju berwarna kuning, sekilas mirip style Harajuku
dari Jepang tapi kalau dilihat lagi jadi mirip badut ancol yang joget-joget di
tengah jalan.
Masih di depan cermin dan masih
mencoba-coba baju yang cocok untuk ku pakai besok. ‘Baju apa yang cocok ku
pakai nih’ Gumamku. Tiba-tiba dibalik pintu munculah ibuku sambil berkata ‘Dey
kamu lagi apa?’.
‘Ini lagi nyari baju yang mau Dey
pakai untuk besok bu’. Jawabku
‘ Bukannya besok kamu ngajar ?’
‘ Iya’ Jawabku singkat, padat dan
tidak jelas.
‘Lah ya udah kalau ngajar pake baju seragam ngajar
aja seperti biasa yang kamu pakai untuk ngajar’ Ucap Ibuku .
‘Besok aku mau ketemuan bu’. Ibu tau gak, besok aku
mau bertemu
‘Katanya mau ngajar’ Tegas ibuku
‘Ngajar apa ketemuan ?’ Lanjutnya
‘Iya bu besok aku mau ngajar terus mau ketemuan.’
Jawabku ‘Tau gak bu, besok aku mau ketemuan sama perempuan yang aku suka dari
aku masih kuliah bu’
Tiba-tiba sorot mata ibu ada yang
berbeda, matanya berkaca-kaca lalu dia berkata ‘Astagfirullah kamu suka sama
muridmu sendiri ?’
‘Bukan bu, bukan aku….’
Belum sempat ku jelaskan, ibuku
sudah memotong penjelasanku.
‘Sadar Nak, sadar, istighfar’
‘Bukan bu, aku suka sama adik tingkat saat aku masih
kuliah dulu bukan murid, bukaaaaaan’
‘Ooooh terus Dia namanya siapa ?’ Tanya ibuku dengan
semangat.
‘Uli Damayanti bu’
‘Oooh dia’ Jawab ibuku seolah dia sudah mengenalnya
‘Iya bu, dia’ ucapku yang cukup bodoh menganggap ibu
sudah kenal dengan dia.
‘Terus kapan kamu mau bawa Kuri ke rumah ?’
‘Uli, bu’
‘Iya itu’
‘Ya nanti ketemu aja belum, itu juga aku dan dia
cuma temen’
‘Katanya kamu suka sama dia ya cepet nyatakan’
‘Iya bu nanti’
Hening.
Lalu
ibuku menatapku dengan serius dan berkata ‘Kalau kamu suka cepet nyatakan, nih ya
temen ibu dulu ada yang suka sama cewek dan dia tidak cepat menyataknnya
sekarang dia jadi gak suka sama cewek lagi’
‘Oya ?’ tanyaku yang tidak percaya
dengan apa yang diceritakan ibuku.
‘Iya,
bahkan ada juga teman ibu yang sampe jadi peminta-minta di lampu merah, dia
selalu meminta-minta kepada orang lewat ‘Bu cintanya bu, bu cintanya bu’. Gitu’
Oke sampe disini aku tau ibuku
sedang berbohong. Aku tidak menanggapinya sampe akhirnya ibu capek sendiri.
‘Ya udah pokoknya cepet nyatakan’
Ucap ibuku sambil berjalan keluar kamar.
Aku masih tetap tidak menanggapinya.
Sesaat setelah ibuku keluar kamar,
aku kembali lagi dipusingkan mencari baju yang tepat untuk ku pakai besok. Baju
yang pantas untuk mengajar dan pantas juga untuk bertemu dengan Uli Damayanti.
Semua nbaju yang ada di lemari ku keluarkan, ku coba satu demi satu sampai
akhirnya aku pilih model yang casual atau
kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti gembel. Ku pilih baju dengan lengan panjang hitam dan celana yang
berwarna hitam juga karena menurut penelitianku mengenai warna-warni kehidupan,
warna hitam adalah warna dasar. Jadi warna hitam cocok dengan semua jenis kulit
dan jenis warna lainnya. Tidak masuk akal memang tp namanya juga penelitaian
dalam kegelapan.
Malam
itu aku merasa aneh, seumur hidupku, aku tidak pernah memikirkan masalah
pakaian, aku juga tidak pernah bercerita kehidupanku kepada ibu, baik tentang
perasaanku, tentang aku suka sama siapa, tentang perasaan aku sedang bahagia
atau pun lagi sedih. Namun, entah mengapa malam itu, aku merasa aku ingin
menceritakan apa yang aku rasakan kepada ibuku. Malam itu aku sangat merasa
dekat dengan ibu.
Akhirnya hari pertemuan itu datang
juga. Pagi hari seperti biasa, aku mempersiapkan semua kebutuhan yang akan
dipakai untuk mengajar. Namun, ada satu hal yang tidak biasa yaitu aku harus
mempersiapkan mental untuk bertemu dengan Uli Damayanti, sosok yang aku tunggu.
‘Sarapan belum Dey ?’ Tanya ibu.
‘Udah tadi’ Jawabku yang sedang
memakai sepetu
‘Jadi ketemu sama Kuri ?’
‘Uli, bu’
‘Iya itu maksud ibu’
‘Jadi tapi nanti pas selesai pulang
ngajar’
‘Udah pakai minyak wangi ?’
Aku diam, aku merasa pertanyaan ibu
sudah mulai aneh.
‘Udah kok, kan biasanya juga pakai
minyak wangi tiap hari’ Jawabku datar.
Tiba-tiba ibuku langsung mendekat,
lalu mengendus-endus lengan bajuku. Aku diam, mataku kosong. Lalu dia bilang
‘Hmm masih kurang wangi nih, kurang banyak kamu pakai minyak wanginya’
‘Masa sih ?’ Tanyaku gak peduli.
‘Coba aja kamu cium bajumu’
Lalu kita berdua, anak dan ibu
mengendus-endus baju yang aku pakai. Parah.
Aku sendiri tidak memperdulikan
dengan yang namanya minyak wangi karena memang aku tidak suka dengan minyak
wangi yang terlalu tajam aromanya. ‘Udah bu, ini udah cukup wangi’ Jawabku yang
memang sudah memakai minyak wangi. Ibuku diam dan menatapku dengan dalam. Aku
juga ikut diam, ada keheningan sejenak dan yang ada dipikiranku hanya ada 2; 1)
Ibu mulai kerasukan makhluk halus pemburu minyak wangi, dan 2) Kejantananku
akan hilang ditelan minyak wangi yang berlebihan dari saran sang ibu.
‘Aahhh tunggu jangan kemana-mana,
ibu mau ambilkan sesuatu’ Ucap ibuku seolah dapat pencerahan.
Aku diam kayak orang bego. Lalu dari
belakang ibuku langsung menyemprotkan minyak wangi yang beraroma melati
miliknya dengan kejam.
‘Udah bu, udah’ Jeritku.
‘Udah diam’
‘Ampun bu, ampun, uhhukk, uhhukkk’
Masih dalam jeritanku yang diiringi dengan batuk-batuk.
Ibuku malah tambah kejam menyemprot
minyak wanginya, cara menyemprot minyak wanginya seperti cara menyemprot obat
nyamuk semprot. Kejam memang. setelah itu, ibuku diam sejenak dan berkata
‘Naaah, ini dari jauh juga udah wangi’. Aku tertunduk lemah takibat menghisap
virus minyak wangi ibu.
Tidak lama kemudian aku pamit untuk
berangkat kerja dan minta doanya untuk bertemu dengan Uli Damayanti. Aku
berangkat dengan Dedi Dores (dengan
diiringi doa restu) sang ibu dan dengan aroma wangi khas Master Collogane yang kalah oleh aroma
melati khas minyak wangi ibu. Aku berangkat kerja naik motor matic berwarna pink sambil menaburkan
minyak wangi beraroma melati untuk para penduduk di sepanjang jalan, syala laa laa laaa.
Sampai di sekolah ku ucapkan salam
kepada rekan-rekan guru. ‘Assalammualaikum’ sapaku kepada mereka. Lalu ada yang
berkata ‘Hmm bau pengantin, melati nih melati.’ Ucapnya yang menyembutku penuh
rasa malu.
‘Siapa yang pakai minyak wangi
beraroma melati nih ?’. Tanyanya
‘Aroma apa pun itu, bukan aku yang
menggunakan aroma seperti itu’ jawabku.
‘Iyalah ini aroma cewek banget, gak
mungkin dipakai cowok.’
‘Iya cewek banget ha ha ha’. tegasku
sambil diiringi ketawa garing.
Tanpa berlama-lama di ruang guru,
aku langsung masuk ke kelas untuk memberikan pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia. Namun, entah kenapa tiap aku berjalan menuju ruang kelas semua siswa
yang sedang asik ngobrol dengan temannya di luar kelas tiba-tiba mereka pasti
berkata “Hmm bau apaan nih, wangi melati kayak di kuburuan”. Dan aku pura-pura
tidak mendengarnya.
“Selamat Pagi” Sapaku di ruang
kelas.
“Pagi Pak” Jawab mereka.
Aku duduk di kursi samping papan
tulis, sambil mempersiapkan buku ajar, spidol dan absensi kelas. Ku perhatikan
seluruh siswa, mereka duduk dengan rapih sambil bercanda dengan teman
sebangkunya. Pagi itu, terasa damai. Dalam hati ku berkata “Merekalah para
penerus bangsa 10 tahun kelak, mereka anak-anak masih polos”. Suasana saat itu
mendadak hening, saat ditengah-tengah keheningan terdengar siswa sedang
berbisik dengan teman disampinya.
“Hmm bau kuburan” ucap salah satu
diantara mereka
“Bukan bau kuburan tapi bau kayak di
kuburan”. Jawabnya
“Iya Ini bau kayak di kuburan” Seru
mereka
“Iya!!!”
“Iya!!!”
Tiba-tiba dia berteriak keras kepada
teman-temannya “Awas jangan ada yang bengong nanti kemasukan jin, ini aroma
melatinya udah sangat dekat”
Aku hanya bisa diam dan tetap tenang
seolah aku tidak mendengar kata-kata dari siswa itu dan yang paling penting aku
tidak menunjukan bahwa akulah sumber aroma wangi melati itu.
“Sudah, sudah kita mulai belajar”
Ucapku mengalihkan pembicaraan mereka.
Pembelajaran di sekolah pun dimulai,
namun entah kenapa aku jadi tidak konsen. Sedikit-sedikit lihat jam, lihat jam
dan terus lihat jam. Ya memang aku sudah tidak sabar untuk bertemu Uli
Damayanti. Saat mulai masuk pembelajaran sesekali aku melihat hp yang aku
simpan di atas meja. Aku lihat ternyata gak ada pesan, lihat lagi tetep gak ada
pesan, aku lihat lagi masih gak tetap ada pesan masuk. Hari itu aku benar-benar
tidak bisa berkonsentrasi seperti biasanya.
Pagi hari itu beitu terasa sangat
cepat, tak terasa sudah jam istirahat, itu berarti 4 jam lagi aku akan bertemu
dengan Uli Damayanti. Lagi-lagi saat mengingat dia jantungku semakin berdetak
lebih cepat dari biasanya, jantung ini seperti mau keluar dan loncat-loncat
sambil berkata “Tuhan Tolonglah jiwa iniiiiiiiiiiiiiii”
“Pak ngopi ke kantin ikut gak ?”
Ucap rekanku yg sesama jadi pengajar di sekolah.
“Ayo, ayo” jawabku
Aku berjalan menuju kantin, sambil
berjalan pikiranku entah lari kemana. Di pikiranku hanya berpikir “Nanti gimana
ini, nanti harus ngobrol apa, kata apa yang harus aku cupkan saat bertemu Uli,
tema obrolan apa yang akan aku bahas saat ngobrol dengan dia”
Aku bertemu dia memang untuk
membicarakan masalah skripsi tp jika aku berbicara masalah skripsi terus nanti
yang ada dia malah jadi merasa jenuh, mau becanda takut gaya becanda saya
garing di mata dia, mau ketawa sendiri takut dikira gila. Aku bingung bagaimana
caranya agar bisa membuat suasana menjadi santai dan gak kaku saat bertemu Uli
Damayanti. Aku mencoba berpikir sampai akhirnya aku sadar bahwa masalah apa pun
yang menyangkut Uli Damayanti ternyata aku tak bisa berpikir seperti biasanya,
ya masalah yang menyangkut tentang Uli Damayanti memang gak bisa pakai logika
tp harus pakai perasaan dan hati.
Di kantin sambil menikmati secangkir
kopi bersama rekan-rekan pengajar yang lebih senior kita ngobrol-ngobrol
membicarakan tentang sekolah, tentang siswa. Kita berbagi ilmu tentang metode
pembelajaran yang baik, cara memotivasi siswa dan cara mengajarkan siswa agar
lebih mengenal arti sopan santun. Bersama rekan guru yang jauh lebih senior atau
kata lainnya jauh lebih tua dari aku, aku ingin berbagi pengalaman masalah “Hal apa yang harus dilakukan ketika bertemu
dengan orang yang kita cintai”.
“Pak gimana caranya agar ketika kita
ketemu teman, dia merasa nyaman dengan kita” tanyaku.
“Gampak pak, kalau ketemu tinggal di
klakson aja” jawabnya.
Klakson ? mungkin dipikiran rekan
pengajar itu bertemu dijalan kayak anak-anak alay yang biasa ngobrol
samping-sampingan sambil naik motor dan suaranya teriak-teriak. Bayangkan jika
memang seperti apa yang rekan kerjaku pikirkan ngobrol di motor yang masih
berjalan. Nanti jadi ngawur ngobrolnya. Misal, aku bertanya kepada Uli.
“Gimana skripsinya Uli ?
“Apa ka Deskripsi ? Jawabnya sedikit
salah
“Skripsi”
“Narasi ?” jawabnya yang masih salah
“Skripsi”
“Panas sekali ?” Jawabnya yang salah
“Terasi Uli” Pertanyaan yang
benar-benar salah
“Oh skripsi” Jawaban benar dari
pertanyaan yang salah
Kembali ke cerita. Aku langsung
menegaskan bahwa aku bertemu dengan Uli Damayanti bukan di jalan tapi bertemu
langsung.
“Pak, aku bertemunya langsung bukan
di jalan masa mau mainan klakson” Ucapku
“Oh ngomong dong”
Lalu rekan pengajarku bercerita masa
mudanya mengenai pengalamannya tentang sebuah pertemuan dengan orang yang dia
cintai. Masukan dari rekan pengajarku itu intinya bahwa kita sebagai laki-laki
harus bisa membuat situasi yang nyaman. Becanda-becanda kecil, misalnya. Namun,
yang jadi masalah aku harus becanda apa di depan dia, yang ada aku malah jadi
gemetaran, keringat dingin keluar dan yang paling penting aku takut pingsan di
depan dia.
Dari pada aku makin bingung
memikirkan becanda-becanda kecil demi membangun situasi yang nyaman untuk Uli
Damayanti, aku putuskan untuk kembali ke ruang kerja. Ya, di ruang guru tempat
aku duduk, tidur, tidur sambil duduk itu terdapat cermin bersar yang menempel
di tembok paling belakan di dalam ruang guru. Cermin itu digunakan untuk
melihat kerapihan di dalam diri sendiri sebelum masuk ke dalam kelas, mulai
dari pakaian, rambut, make up, dan aroma minyak wangi, yang terakhir kayaknya
tidak masuk akal. Karena aku orang yang sengat kreatif maka untuk kali ini
cermin itu aku gunakan untuk hal yang berbeda. Ya aku gunakan untuk simulasi
pertemuan aku dengan Uli. Aku belajar berbicara dengan Uli Damayanti, belajar
berbicara dengan dia yang seolah-olah ada di depanku. Aku berjalan mendekati
cermin, berdiri di depan cermin dan mulai berbicara, kebetulan di ruang guru
tidak ada siapa-siapa.
Latihan percakapan itu mulai dari
yang sok cool seperti “Hey Uli
Damayanti apa kabar”, “Kamu terlihat cantik sekali hari ini”, “Kamu sangat
istimewa”, “Akhirnya kamu datang juga”. Tapi aku piker-pikir lagi sepertinya
kata sapa seperti itu masih kurang keren, akhirnya aku coba yang agak sedikit
berlebihan, seperti “Hey Uli, aku seneng deh lihat mata kamu karena dari mata
kamu aku bisa melihat masa depanku, tapi gara-gara aku melihat mata kamu
sekarang mataku jadi rusak, semua yang aku lihat terlihat hitam putih cuma kamu
yang berwarna”. Namun, kalau aku berkata seperti itu bisa-bisa dia jadi ilfil.
Aku mondar-mandir di depan cermin
sambil berpikir apa yang harus ku katakana untuk memulai pembicaraan dengan
Uli, kata-kata seperti tadi aku pikir masih kurang cocok. Aku diam; melihat ke
cermin; menatap mataku sendiri dan aku takut jatuh cinta pada diriku sendiri
saat saling bertatapan mata dengan orang yang ada di depan cermin yaitu
bayangan diriku sendiri.
Aku mulai latihan lagi. Aku
membayangkan dia datang terus menghampiriku dan aku sapa dengan pura-pura lupa
“Kamu siapa ?”. Hening. Jika aku bertanya seperti itu nanti dia malah jawab
“Maaf salah orang” Lalu dia pergi lagi dan ujung-ujungnya aku menyesal sudah
berkata seperti itu.
Aku masih terus berpikir, masih
mondar-mandir. Aku ulangi lagi kalimat sapa dari yang biasa sampai yang gak
banget seperti “Hey what’s up girl
?” sambil menjulurkan tangan mirip anak
rapper dengan baju yang kebesaran dan celana yang kedodoran. Sampai
akhirnya latihan percakapan itu berhenti tanpa mendapatkan hasil ketika ada
guru masuk sambil bertanya.
“Pak Derif lagi apa ngomong sendiri
di depan cermin ?”
Aku diam.
Hening.
Tak mampu aku berkata apa-apa, hanya
hatiku yang mampu berkata “TAMAT RIWAYATKU. TAMAAAAAAAT”
“Pak diam saja” Ucapnya “Ditanya
lagi apa” Lanjutnya
Aku jawab dengan rasa bingung.
“Ini saya lagi ini, mmm anu, lagi
itu, apa yaa, aduh itu tuh”
“Kenapa pak kok bingung gitu ?”
tanyanya.
“Hehehe” Aku hanya bisa tertawa
garing sambil garuk-garuk kepala.
Dan latihan percakapan itu sia-sia.
Aku tak mendapatkan rasa pede dalam memulai pembicaraan dengan Uli Damayanti
nanti.
Seperti biasa setelah jam istirahat
bell masuk pun berbunyi namun setiap hari kamis aku memiliki jam mengajar hanya
4 jam pelajaran, itu berarti aku mengajar sampai jam istirahat. Setelah itu aku
biasanya santai sambil menunggu jam pulang atau biasanya aku langsung pulang
untuk melanjutkan tidur yang tertunda. Namun, untuk hari kamis kali ini aku
tidak bisa santai. Aku masih terbayang-bayang tentang pertemuan dengan Uli
Damayanti.
Saat semua guru mata pelajaran masuk
ke kelas yang mereka ajar, aku sendiri di dalam rang guru. Sesekali aku menarik
nafas dalam-dalam sambil merintih dalam hati “Ya Tuhan selamatkanlah jiwa ini
dari genggaman setan-setan grogi yang terkutuk”.
2 Jam berlalu begitu cepat. Jantung
berdetak semakin cepat setiap kali aku lihat jarum jam yang tanpa ampun terus
berputar sesuai dengan rotasinya. Semakin aku lihat jam, aku semakin tak
menentu. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya agar aku mendapatkan
kedamaian dalam batin ini yang semakin kacau.
Bell pulang berbuny. Saat
itu pula aku langsung merasa lemas seperti sudah mendekati ajal, meski pun tidak ada ajal yang indah. Ini adalah ajal yang janggal.
“Pak belum pulang, tumben.” Ucap
rekan guru di sekolah
“Belum pak” Jawabku
“Kenapa lemes banget ?” tanyanya
“Gak apa-apa pak”
Suasana menjadi hening.
Biar tidak terlihat lemas lagi,
ketika rekan sesama pengajar sudah pulang saya loncat-loncat sendiri tapi malah
jadi kayak orang gila maka saya putuskan untuk senam wajah biar pas ngobrol
dengan Uli Damayanti wajah saya tidak kaku. Aku gerakan bibirku ke kanan dan
kiri, lalu teriak AAAAAAAAAIIIIIIIIIIIIIIUUUUUUUUUUUEEEEEEEEEEOOOOOOO. Aku
ulangi kata-kata itu, lama-lama jadi terdengar kayak AAAAKKUUUUUUBBEEEGOOOOOO.
Dari
pada aku jadi bego beneran, aku akhiri senam wajah itu. Aku diam, bengong,
tatapan mata kosong, hidung kembang kempis, kayaknya kalau ada Uya Kuya aku
mudah untuk dihipnotis. Tidak lama kemudian hpku berbunyi, aku lihat hp
ternyata itu pesan dari Uli Damayanti. Aku tidak percaya, aku lihat lagi
ternyata masih tetap dari Uli Damayanti. Aku masih tidak percaya, aku lihat
lagi ternyata memang pesan itu dari Uli Damayanti. Pesan itu berisi “Ka, Uli udah di depan sekolah kakak nih”
Aku senyum-senyum sendiri saat membaca pesan yang disampaikan Uli Damayanti
lalu saya sadar “Mampus dia udah di depan
sekolah”. Aku makin tambah bingung. Aku mencoba menenangkan pikiran,
membuat suasana menjadi santai, aku jalan maju-mundur-maju-mundur di dalam
ruang kerja, bolak-balik bolak-balik sambil garuk-garuk kepala, dan aku
berhenti sambil berkata dalam hati “Bego
kenapa aku gak membalas pesan Uli”.
“Tunggu dulu, nanti saya kesana”.
Jawabku yang ku kirimkan via Blackberry Messsenger
Setelah membalas pesan dari Uli Damayanti,
aku langsung bergegas menemuinya yang pasti dengan mental lemah, buat jalan aja
lemas, apa pun yang aku lihat jadi gelap. Selangkah demi selangkah ku
langkahkan kaki menuju Uli Damayanti dengan badan gemetar kupaksakan
mendekatinya.
Ku lihat Uli Damayanti dari balik
gerbang sekolah yang berwarna hijau, dia duduk di atas motor matic yang
berwarna merah bercampur hitam persis seperti warna dasar helm yang dia punya.
“Hey” sapaku yang tidak tau harus
menyapa apa selain kata Hey . “Udah
dari tadi ?” Lanjutku.
“Enggak kok kak” Jawab Uli
Damayanti.
Aku mengajak Uli Damayanti untuk
duduk di kantin depan sekolah. Saat itu sekolah sudah sepi dari para siswa.
Hampir semua siswa sudah pulang, tinggal tersisa beberapa siswa yang memang
aktif di bidang eskul di sekolah. Aku duduk berhadapan dengan Uli yang
dipisahkan oleh meja panjang milik ibu kantin. Aku tidak berani menatap matanya
saat dia berbicara. Aku takut terlalu dalam masuk dalam mimpi tentang dia.
Uli Damayanti terus bercerita
tentang skripsinya, terus menjelaskan kesulitan dalam membuat skripsinya,
terus, teruuuss, dan terus. Aku masih memperhatikan wajah Uli Damayanti, cara
berbicara Uli Damayanti. Aku terkesima akan pesona yang dia miliki. Sampai
akhirnya dia bertanya “Gimana kak ?”.
“Haaaah” aku terkejut. Dia bertanya Gimana
? kepadaku, “Apa yang harus aku jawab ?”. Saat dia berbicara masalah
skripsinya aku tak mendengarkannya, aku terkesima duduk dekat dengan dia, aku
tidak bisa konsentrasi jadi wajar kalau aku tidak mengerti apa yang dia katakan.
Sambil diam aku terus berfikir apa yang dia maksud dengan “Gimana ?”.
Hatiku berkata, jangan-jangan dia
bertanya “gimana” itu berawal dari kalimat “Gimana kalau kakak jadi pacar Uli
aja ?”, tp kayaknya tidak mungkin paling yang ada “Gimana kalau kakak bunuh
diri aja ?”. Aku semakin bingung menjawab pertanyaan “Gimana” yang dilontarkan
Uli Damayanti itu.
Uli Damayanti masih diam.
Aku jadi ikut diam.
Tidak lama kemudian, dengan wajah
yang seolah mengerti aku menjawab pertanyaan Gimana ? dari Uli Damayanti.
“Mmmmmm skripsi kamu itu ini Li, ini
mmmm anu Li. Skripsinya anu Li.” Aku diam sebentar, menarik nafas dalam-dalam,
Uli Damayanti masih fokus menunggu penjelasan dariku. Lalu aku melanjutkan
ucapanku “Gimana kalau Uli ulangi lagi menjelaskan skripsinya ?”.
Hening.
Uli Damayanti mengulangi menjelaskan
tentang skripsinya. Dia menjelaskan dengan detail mengenai kesulitan dalam
membuat skripsi. Aku mendengarkan penjelasan dia sampai akhirnya aku mendaptkan
sebuah kesimpulan, bahwa Uli Damayanti memang orang yang baik, rajin dan
cantik. Dan intinya, aku tidak salah jika aku mencintai orang seperti dia, Uli
Damayanti. Tapi kesalahan besar jika aku beranggapan Uli Damayanti bisa
mencintai aku. Itu hal sangat tidak mungkin. Aku dan Uli Damayanti ibarat
langit dan cacing tanah, sangat jauh. Uli Damayanti ibarat Langit sangat
tinggi. Sedangkan aku, ibarat cacing tanah, sangat di bawah, bahkan di bawah
tanah.
Aku masih berdiskusi dengan Uli
tentang skripsinya yang dilanjutkan dengan ngobrol-ngobrol ringan dan masih
tetap dengan memperhatikan wajahnya. Rasanya ingin sekali aku berkata “Aku
bukan pencuri hatimu karena aku bukan orang jahat yang mencuri tanpa seijin pemiliknya.
Aku hanya jadi pengagumu, penikmat senyumu yang logikanya hilang saat mengingat
tentangmu. Aku adalah bayangmu yang mengikuti kemana pun kamu pergi meski tanpa
kau tau dan kau anggap.” Namun, lagi-lagi lidahku keluh, tak mampu aku berucap
apa-apa. Jangankan untuk berkata seperti itu, menatap matanya aja aku tidak
berani bahkan untuk bercanda aja aku agak susah meski pun kata teman-teman,
perempuan itu sangat suka dengan laki-laki yang suka bercanda tapi kalau aku
kebanyakan bercanda nanti jadi ilfil bahkan dia berpikir orang gila. Akhirnya
bisa disimpulkan, aku latian ngobrol dengan Uli di depan cermin, bertanya ke
rekan sesama pengajar tentang cara ngbrol dengan perempuan, ternyata semua itu
sia-sia. Sekarang aku paham ketika akan bertemu dengan orang yang kita puja itu
tidak perlu latihan cara ngobrolnya atau apa pun itu, aku paham yang dibutuhkan
ternyata hanya menyamankan dia ditengah obrolan yang sedang berlangsung,
mengikuti alurnya serta mental biar tidak gemetar di depan dia. Lalu biarkan
Tuhan bekerja dengan keagungannya dan kita cukup menjankan apa yang kita bisa.
Waktu berjalan begitu cepat tidak
terasa hari sudah sore ditambah lagi cuaca pun mendung jadi kita putuskan untuk
pulang ke rumah masing-masing dengan harapan semoga nanti aku bisa bertemu lagi
dengan Uli dengan jangka waktu yang lebih panjang tapi ya sudahlah begitu kata
Bondan Prakoso.
Pertemuan itu terasa sangat singkat
namun sangat bermakna bagi kelangsungan hidupku. Seketika Uli Damayanti bangun
dari tempat duduk yang tepat di depanku. Dia berkata “Aku pulang dulu ya kak”
yang aku balas dengan senyuman tipis disertai dengan kalimat“Oke hati-hati ya
Li”.
Dia menyalakan sepeda motor matic
miliknya, perlahan dia mulai menjauh dari pandanganku. Aku masih berdiri tegak
di samping jalan sambil melihat dia untuk memastikan dia baik-baik saja.
Dari balik punggungnya aku melihat
dia semakin jauh, bertambah jauh sampai akhirnya dia sudah tidak terlihat dari
pandanganku. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menggumam dalam hati “Hmmmmm”.
Tidak ada kata yang mampu aku ucapkan lagi.
Aku kembali ke ruangan kerjaku yang
sudah sepi dari penghuni. Ku buka gerbang sekolah yang berwarna hijau tua. Aku
duduk di kursi yang menemaniku setiap pagi saat kerja. Sesaat pikiranku kosong,
aku masih terbayang-bayang wajah dia. Sambil menikmati kopi di ruang kerja, aku
berpikir “Seandainya dia ada disini” tapi mau bagaimana lagi hal itu tidak
mungkin terjadi.
Hening.
Aku putuskan untuk pulang dari
tempat kerja. Sepanjang jalan menuju rumah sambil naik motor, aku tak
henti-hentinya berpikir “Mungkinkah kita
akan bertemu lagi ?”. Aku terus berpikir seperti itu sampai akhirnya aku
merasa kok jadi kayak Andre Taulani. Dari pada aku jadi mirip Andre Taulani,
aku pilih menancap gas motorku agar lebih cepat sampai ke rumah.
Sampai rumah menjelang maghrib, aku
langsung mengambil handuk lalu masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Di
dalam kamar mandi, aku jadi makin aneh. Aku diam di pojokan kamar mandi,
melamun, pikiranku kosong biar kayak di sinetron-sinetron lalu mengambil silet
dan menyayatkan siletnya ke tangan, sinetron bangetkan. Tapi aku tidak
melakukan hal seekstrim itu, bukan aku tidak berani hanya saja aku takut kalau
liat darah. Kalau aku meyayatkan silet itu ke tangan nanti aku bisa mati. Mati
bukan karena sayatannya tapi aku mati karena aku melihat darah yang mengucur deras
dari tanganku sendiri.
Kembali ke cerita.
Malam pun tiba. Di dalam kamar, aku
masih membayangkan pertemuan dengan Uli Damayanti tadi siang. Aku senyum-senyum
sendiri mengingat percakapan yang telah terjadi dengan dia. Tiba-tiba dari
balik pintu kamar ada bunyi “Tok...Took...Tooook!!!”.
Aku mendadak diam. Suasana menjadi hening. Tidak lama kemudian pintu
kamarku berbunyi lagi “Tok...Took...Tooook!!!”.
Aku semakin diam. Semakin lama aku jadi semakin takut. Naaah, untuk
mengetahui dibalik pintu kamar itu orang apa bukan, aku mencoba memberikan
pertanyaan seperti di film Warkop DKI, “Itu
siapa ? Kucing apa manusia ?” Tanyaku. Kalau dari balik pintu itu menjawab Kucing berarti sudah pasti dia adalah
manusia. Aku masih diam menunggu jawaban. Namun, dia tidak menjawab-jawab.
Lagi-lagi pintu kamarku berbunyi “Tok...Took...Tooook!!!”.
Aku makin penasaran.
Aku diam.
“Tok...Took...Tooook!!!”.
“Siapa ?” Tanyaku
Masih diam tidak ada jawaban.
“Apakah itu Nikita Willy ?”
Masih diam.
“Revalina. S Temat ?”
Tiba-tiba
terbuka diiringi dengan suara lirih “Aku Dewi Sandra” Ucapnya.
Memang saat itu lagi musimnya
sinetron Catatan Hati Seorang Istri yang dibintangi oleh Dewi Sandra.
Aku terkejut.
“Ini ibumu, Nak !!!” Ucapnya.
Hening.
Ibuku langsung mendekatiku, dia
bertanya “Gimana tadi siang ?”
Aku jawab dengan santai “Lancar bu,
seperti biasa namanya juga murid kadang menyenangkan, kadang ribut aja”.
Ibuku diam dan menatapku dengan
tajam.
Dia masih diam. Aku bingung apa yang
salah dari jawabanku.
“Kenapa bu ?” Tanyaku heran.
Ibuku masih diam. Saat dia diam, aku
tau pasti ada yang salah dari ucapanku. Karena aku tau ada yang salah dari
diriku, aku langsung melihat sekitar, aku tengok kanan-kiri-atas-bawah dan
disetiap sudut kamar. Aku melihat sekitar kamar kira aja ada benda tajam yang
bisa membahayakan jiwaku yang masih muda ini.
“Ke..kenapa bu ?” Tanyaku sambil
mengambil hp yang aku simpan di meja belajar. Aku ambil karena takut ibu
tiba-tiba mengambil hp ku lalu melemparkannya ke mukaku yang jauh dari kata
mesum ini. Saat itu aku berpikir hp adalah benda tajam yang ada di kamarku
meski pun tidak seperti pisau.
Ibu ku langsung menoleh ke belakang
yang pasti membelakangiku. Lalu dia berkata “Ibu tidak bertanya masalah kamu di
sekolah”. Aku terkejut dalam hati aku berkata “Pasti ibu akan bertanya yang tidak beres nih”.
Aku pura-pura tidak mengerti yang
aku ekspresikan dengan muka bego. “Maksudnya bu ?” tanyaku.
“Ah kamu pura-pura tidak mengerti,
kamu kan tadi siang habis bertemu dengan si Uli yang kamu ceritakan tadi pagi”
Ucap ibuku
“Ooh hehehehe” Aku tidak bisa
menjawab apa-apa
“Malah ketawa” Ujarnya.
“Gimana-gimana ceritakan coba sama ibu” Lanjut Ibuku.
Aku diam. Suasana menjadi kembali
hening. Ibu masih menunggu cerita dariku tentang tadi siang aku bertemu dengan
Uli Damayanti. Dan aku berpikir Aku harus
cerita gimana.
Masih hening.
Aku masih berpikir apa yang aku
ceritakan. Aku mencari ide kira-kira hal apa yang bisa mengalihkan pembicaraan
ini.
“Aaaaah Iya bu aku lupa kaos kakiku belum aku cuci, Aku
cuci dulu ya bu” Ucapku.
“Ya udah sana dicuci dulu” Jawab ibuku.
Bagus ternyata kaos kakiku bisa membuat ibu amnesia
sesaat.
“Iya bu aku cuci dulu” Tegasku.
“Sana kamu cuci tapi setelah kamu ceritakan pertemuan
kamu itu”
Mampus. Ternyata kaos kakiku gagal memberikan amnesia
sesaat.
Dari pada makin panjang pertanyaan-pertanyaan dari ibu
maka aku ceritakan secara singkat pertemuan tadi siang bersama Uli Damayanti.
“Jadi gini bu” Ucapku menceritakan peretmuan dengan Uli,
Ibuku sangat fokus untuk mendengarkan. Aku melanjutkan bercerita “Jadi tadi
siang aku bertemu dengan dia, lalu aku ngobrol-ngobrol masalah skripsi dengan
dia, dan waktu udah sore maka kita putuskan untuk pulang”.
“Udah ceritanya ?” Tanya ibuku.
“Udah” Jawabku.
Hening.
Tidak lama kemudian ibu keluar dari kamarku, ia berjalan
pelan seperti seseorang yang sudah dikecewakan. Saat ibu sudah keluar, aku bisa
bernafas lega sambil berkata “Selamet,
selameeeeet”
Waktu berlalu begitu cepat tidak terasa sudah tengah
tengah malam. Aku coba memejamkan mata untuk istirahat sebelum beraktivitas di
esok hari. Namun, entah mengapa aku sangat sulit untuk memejamkan mata. Masih
banyak pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pikiran yang sulit untuk terjawab.
Aku masih membayangkan
pertemuan itu, pikiranku tiba-tiba kembali ke
masa yang sudah terjadi, saat itu pula aku jadi susah
untuk memejamkan mata walau untuk sejenak. Sorot matanya masih pekat di
ingatanku, senyumnya
masih terbayang. Gaya bicaranya,
cara bercandanya,
semua masih utuh tersimpan dalam ingatanku. Aku mengerti setiap
pertemuan pasti memiliki kesan tersendiri untuk kita dan mungkin ini adalah
kesan yang aku dapatkan dibalik sebuah pertemuan dengan Uli Damayanti. Selebihnya
yang aku dapatkan dari pertemuan tadi siang dengan Uli Damayanti adalah aku
harus merelakan dia pergi, sebab merelakan dia pergi adalah caraku memberitahukan
pada diriku sendiri bahwa jika bersamaku dia
tak bahagia.
Suasana menjadi sedikit melow
ditambah dengan iringan musik yang sedang aku dengarkan bernada minor semakin
pas untuk menemani malam ini yang sangat dingin, persis seperti sikap Uli
Damayanti kepadaku, sangat dingin.
Dalam keheningan itu, aku kembali
ingat dengan pertanyaan ibuku “Udah ceritanya
?”
Karya Derif Rys
Gumilar
Follow Twitter
@Gumilar_
Facebook : eriefgilaraquino@rocketmail.com
Facebook : eriefgilaraquino@rocketmail.com